Oleh: Angga Nofianto
Sebagaimana keanekaragaman yang terdapat di Negara Indonesia sudah barang tentu persatuan dan kesatuan memegang peranan penting bagi keutuhan NKRI. Keanekaragaman suku, etnis, bahasa, agama, maupun budaya kerap menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa ini. Persatuan Indonesia yang tercatat dalam sila ketiga dari Pancasila dengan jelas memunculkan sebuah cerminan refleksi bangsa akan kerinduan dari adanya suatu keutuhan. Bangsa yang dengan susah payah bahkan dengan mencucurkan keringat, darah, dan air mata demi menyatukan dan memerdekakannya. Dewasa ini, pengorbanan yang telah ditorehkan oleh para pahlawan seakan menjadi “isapan jempol” semata. Maraknya kasus kekerasan yang terjadi dari hari ke hari semakin merajalela dan menguasai kehidupan masyarakat kita. Seperti yang terjadi di Ambon dalam dua tahun terakhir, 2010-2012, terjadi 65 kasus bentrokan antarwarga di Maluku. Akibatnya, 47 orang meninggal dan ratusan rumah rusak berat hingga ringan.[1] Ada pula kasus bentrok yang terjadi di Solo, Kamis (3/5/2012), bentrok kali ini terjadi antara warga Gandekan, Jebres, Solo dengan salah satu organisasi massa (ormas) di Surakarta. Bentrok yang terjadi di perempatan Gandekan ini sudah dimulai dengan keributan sejak satu bulan terakhir dan berpuncak dengan aksi saling lempar batu dan molotov, akibatnya satu unit motor dibakar dan dua orang luka ringan.[2] Suatu bentuk tragedi yang dengan jelas menggambarkan bahwa kurangnya kesadaran kita akan pentingnya persatuan Indonesia.
Mengherankan, bahwa di negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi ini masih sering terjadi berbagai macam permasalahan yang mengusik tahta persatuan. Persatuan dan kesatuan NKRI yang diidam-idamkan seakan sulit untuk direalisasikan dan sampai sekarang tetap menjadi mimpi belaka. Kiranya memang dibutuhkan suatu pemikiran yang mendalam akan solusi-solusi demi terciptanya persatuan bangsa pada umumnya dan daerah-daerah yang berada di Indosesia pada khususnya.
Nilai Persatuan Indonesia dalam Sila Ketiga Pancasila
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar filsafat negara mengacu pada Pancasila sebagai jiwa dari bangsa Indonesia. Penetapan Pancasila menjadi dasar filsafat negara berarti pertama-tama bahwa negara yang dibangun adalah Negara Pancasila, yang harus tunduk kepada Pancasila, membela dan melaksanakan Pancasila dalam seluruh perundang-undangan, dan karena Pancasila sendiri yang di dalamnya memiliki sifat keseimbangan dalam praktek kehidupannya.[3] Berkaitan dengan nilai persatuan Indonesia, Pancasila menepatkannya dalam sila ketiga yang turut beperan penting sebagai salah satu pondasi bangsa yang menjadi satu kesatuan dengan keempat sila lainnya. Dalam sila ketiga Pancasila ini, secara khusus menyimpan makna dari nilai-nilai kebangsaan tertentu.
Dalam sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” terkandung nilai persatuan bangsa, antara lain:
a. Persatuan Indonesia adalah persatuan sekelompok manusia yang menjadi warga-negara Indonesia.
b. Bangsa Indonesia adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.
c. Pengakuan terhadap ke “Bhinneka Tunggal Ika” an suku bangsa (ethnik) dan kebudayaan bangsa (berbeda namun satu jiwa) yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa.
d. Nilai persatuan bangsa ini diliputi dan dijiwai sila ketuhanan dan kemanusiaan, serta meliputi dan menjiwai sila kerakyatan dan keadilan.[4]
Dari penjabaran nilai-nilai yang terkandung dalam sila ketiga Pancasila tersebut dapat dilihat bahwa keunikan Indonesia yang kaya akan keanekaragam memang membutuhkan suatu “lem” yang dapat merekatkannya. “Lem” tersebut tidak lain ialah Pancasila, secara khusus sila ketiga yang berbunyi Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia ingin memunculkan suatu bentuk keharmonisan antar masyarakat. Harmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat ini juga merupakan gambaran yang jelas akan kebudayaan asli bangsa ini. Kebudayaan asli Indonesia yang mengacu pada sumber dari lahirnya Pancasila sebagai dasar falsafah negara.
Lebih jauh lagi Poespowardojo dalam Drs. Sudaryanto, M.Hum menyatakan bahwa Pancasila pada hakikatnya bertumpu pada budaya bangsa. Nilai-nilai Pancasila secara fragmentaris dan sporadis terdapat dalam kebudayaan bangsa pada abad dua puluh dan abad-abad sebelumnya. Pancasila sendiri merupakan cerminan nilai-nilai budaya tradisional maupun modern. [5] Oleh sebab itu Pancasila tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, karena kebudayaan merupakan tanah tempat di mana Pancasila sendiri menancapkan akarnya.
Wayang sebagai Budaya Jawa
Jawa adalah salah satu pulau di Indonesia yang kaya akan budayanya. Salah satu budaya yang terdapat di Jawa adalah wayang. Pengertian wayang dalam arti luas secara harafiah berarti sebuah bayangan, sedangkan kalau dilihat dari wujudnya adalah sebuah boneka bertangkai terbuat dari kulit yang dipahat pipih dan diberi warna atau lukisan sesuai dengan karakter dari tokoh-tokoh yang digambarkan. Bentuknya sendiri yang distilisasi [sic!] dari boneka Jawa yang alami. Dapat dikatakan pula bahwa bayangan dari pertunjukkan wayang kulit tersebut cukup tajam, jelas, dan apabila digerakan seolah-olah dapat bergetar dan memunculkan sebuah bayangan yang hidup. Dengan demikian, kata wayang berarti sebuah permainan boneka yang memunculkan bayangan atau pagelaran bayangan.[6] Wayang kulit sendiri memiliki berbagai macam jenis ada Wayang Beber, Wayang Gedhog, Wayang Kancil, Wayang Madya, Wayang Pancasila, Wayang Perjuangan, Wayang Purwa, Wayang Suluh, dan Wayang Wahana.[7] Wayang adalah sebuah karya seni dan juga merupakan sebuah budaya.
Karya seni wayang harus ditempatkan dalam konteks budaya, khususnya budaya Jawa. Wayang disosialisasikan dan dienkulturisasikan [sic!] secara turun temurun dari generasi kegenerasi, sehingga dengan cara demikian, wayang tetap hidup dan menjadi tradisi budaya Jawa.
Wayang adalah refleksi dari budaya Jawa, dalam arti pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan, dan cita-cita kehidupan orang Jawa. Melalui cerita wayang masyarakat Jawa memberi gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya (das sein) dan bagaimana hidup itu seharusnya (das sollen).
Cerita wayang dan karakter tokoh-tokoh wayang mencerminkan sebagian dari situasi konkret kenyataan hidup masyarakat Jawa. . . . . Pemakaian bahasa dalam cerita wayang itu tergambar pula dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa.
…………………………………………………………………………………………………
Dalam wayang ada tokoh-tokoh yang emosional, egoistis, agresif, permisif, keras kepala, selalu ingin berkuasa; yang bijak, baik hati, selalu menolong, selalu bertenggang rasa, yang selalu menghindari konflik, sabar, humoris, dan sebagainya. Karakter-karakter tokoh-tokoh wayang tersebut tercermin dalam karakter-karakter orang Jawa, baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah.[8]
Semakin jelaslah bahwa wayang merupakan bentuk konkret pengkristalan dari kehidupan masyarakat Jawa. Wayang sebagai suatu cerminan kehidupan mempertegas bahwa wayang merupakan suatu kebudayaan. Sebagaimana suatu kebudayaan yang di dalamnya selalu mengandung ajaran-ajaran bagaimana hidup itu harus dijalani, dalam wayang pun terkandung ajaran-ajaran budaya Jawa yang mengharapkan bagaimana hidup harus dijalani oleh orang-orang Jawa.[9] Wayang sebagai budaya Jawa merupakan salah satu kekayaan warisan dari orang Jawa yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya.
Melalui Wayang kepada Persatuan
Wayang selain sebagai budaya juga merupakan suatu karya seni. Sebagai sebuah karya seni, wayang harus ditempatkan dalam kerangka kesenian yang memiliki karakteristik yang komplit bila dibandingkan dengan karya-karya seni lainnya. Wayang adalah karya seni komprehensif yang melibatkan karya-karya seni lainnya. Seperti vokal yang dapat dilihat dari pesinden yang menyanyikan lagu-lagu khas Jawa selama pagelaran wayang dan keahlihan sang dalang dalam memanipulash suara sesuai dengan nama dan sifat dari tokoh wayang yang dimainkan. Seni musik, berkaitan dengan gamelan yang dimaikan pada saat pagelaran wayang. Seni tari, berkaitan dengan gerak tari pesinden saat bernyanyi dan gerak tari wayang yang dimaikan oleh dalang. Serta seni lukis yang dapat dilihat jelas pada bentuk wayang itu sendiri.[10]
Pagelaran wayang biasanya dilaksanakan pada saat-saat tertentu, seperti perkawinan, khitanan, ruwatan, bersih desa, hari ulang tahun perkawina, nujuh bulan , dan lain-l`in. Oleh karena itu, setiap kali ada pertunjukan wayang selalu melibatkan masyarakat banyak untuk berkumpul, baik sebagai pemilik gawe,[11] penonton wayang serta sebagai pedagang makanan dan minuman, serta sebagai tukang parkir kendaraan. Di sinilah terjadi interaksi sosial antar masyarakat. Masyarakat yang datang dari berbagai tempat baik dari dalam maupun luar kota akan saling bertemu, bertegur sapa, bertukar pikiran, dan saling bersenda gurau. Pagelaran wayang menjadi suatu wadah tempat di mana masyarakat banyak dapat berkumpul menjadi satu. Selain sebagai wadah berkumpulnya masyarakat banyak karena fungsinya sebagai karya seni yang menghibur, wayang sebagai budaya juga banyak mengadung masalah budi pekerti yang sangat bermanfaat. Sehingga, melalui wayang ditawarkan pulalah pentingnya hidup rukun dalam persatuan.
Melalui pagelaran wayang yang melibatkan banyak pihak tergambarlah suatu cerminan keharmonisan antar masyarakat. Sebagaiman keharmonisan itu bisa terjadi karena adanya persatuan yang menciptakan rasa aman sehingga pertunjukan wayang pun dapat berjalan dengan baik. Di sini pulalah terjadi hubungan yang saling menguntungkan dari masing-masing pihak. Dari pihak yang mempunyai gawe dan penonton, mereka dapat memperoleh kepuasan karena meperoleh hiburan yang berisakan banyak nilai-nilai kehidupan yang mengajarkan kebaikan demi terciptanya kerukunan. Dari pihak pementas sendiri mereka memperoleh honorarium yang nantinya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari pihak pedagang dan tukan parkir mereka juga memperoleh penghasilan tambahan dari para pengunjung yang datang.
Melalui wayang kepada persatuan, itulah yang menjadikan wayang menjadi salah satu budaya Jawa yang turut memberikan sumbang sih bagi terciptannya persatuan dan kesatuan Indonesia pada umumnya dan khususnya masyarakat Jawa sendiri.
Kesimpulan
Wayang adalah karya seni sekaligus budaya masyarakat Jawa. Sebagai budaya Jawa wayang menawarkan tentang nilai-nilai kehidupan berkaitan dengan bagaimana hidup itu sesungguhnya dan bagaimana hidup itu seharusnya. Sebagai karya seni komprehensif yang melibatkan banyak bidang seni dan juga orang, wayang mengajarkan bahwa dibutuhkannya keharmonisan yang mempersatukan sehingga dapat menciptakan suatu karya seni yang bermanfaat bagi kehidupan. Selain itu, dalam pagelaran wayang juga terlibat di dalamnya masyarakat umum baik itu pemilik gawe, penonton wayang maupun pedagang makanan dan minuman, serta tukang parkir kendaraan yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Melalui interaksi sosial masyarakat dapat mengenal satu sama lain. Setelah itu, terjadilah keakraban yang menjadikan terciptanya suasana rukun antar masyarakat. Kerukunan inilah yang mendorong terciptanya persatua dan kesatuan, sehingga bentrok atau apa pun bentuk kekerasan yang menyebabkan perpecahan bisa dihilangkan.
Menjadi tantangan saat ini adalah bagaimana melestarikan pagelaran wayang yang merupakan warisan kebudayaan? Melihat perkembangan zaman yang seakan lebih menari dibandingkan dengan pertunjukan wayang. Inilah yang menjadi bahan permenungan bagi setiap orang yang tidak ingin kehilang budaya sebagai jati diri bangsa. Di sinilah dibutuhkannya kerja sama dari berbagai macam pihak, sehingga gener`si muda kelak tetap dapat menikmati wayang dan menangkap filosofi yang terkandung di dalamnya.
Daftar Pustaka
Buku:
Bakry, Noor Ms. Pancasila Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Liberty. 1985.
Soetrisno R. Ensiklopedia Seni Budaya Jawa Timur. SIC: Surabaya. 2008.
Sudaryanto, Drs., M.Hum. Filsafat Politik Pancasila Refleksi atas Teks Perumusan Pancasila. Kepel Press: Yogyakarta. 2007.
Walujo, Kanti, Dr., M.Sc. Dunia Wayang Nilai Estetis, Sakrakitas dan Ajaran Hidup. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2000.
Internet:
Adipatikarno. Bentrok Ormas dan Warga Solo dalam Kompas.com. (http://indonesia.faithfreedom.org/forum/bentrok-ormas-dan-warga-di-solo-t48587/ diakses Selasa, 20 November 2012, pkl. 20.50 WIB).
Ponco A., Antonius. Dua Tahun, 65 Kasus Bentrok Antarwarga di Maluku dalam Kompas.com. (http://regional.kompas.com/read/2012/10/31/17451751/Dua.Tahun..65.Kasus.Bentrok.Antarwarga.di.Maluku/ diakses Selasa, 20 November 2012, pkl. 20.43 WIB).
[1] Antonius Ponco A, Dua Tahun, 65 Kasus Bentrok Antarwarga di Maluku dalam Kompas.com, (http://regional.kompas.com/read/2012/10/31/17451751/Dua.Tahun..65.Kasus.Bentrok.Antarwarga.di.Maluku/ diakses Selasa, 20 November 2012, pkl. 20.43 WIB).
[2] Adipatikarno, Bentrok Ormas dan Warga Solo dalam Kompas.com, (http://indonesia.faithfreedom.org/forum/bentrok-ormas-dan-warga-di-solo-t48587/ diakses Selasa, 20 November 2012, pkl. 20.50 WIB).
[3] Noor Ms Bakry, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 38.
[4] Ibid. hlm.136.
[5] Drs. Sudaryanto, M.Hum, Filsafat Politik Pancasila Refleksi atas Teks Perumusan Pancasila, Kepel Press: Yogyakarta, 2007, hlm. 35.
[6] Soetrisno R., Ensiklopedia Seni Budaya Jawa Timur, SIC: Surabaya, 2008, hlm. 547.
[7] Lih. Ibid. hlm. 548-551.
[8] Dr. Kanti Walujo, M.Sc, Dunia Wayang Nilai Estetis, Sakrakitas dan Ajaran Hidup, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000, hlm. 6-7.
[9] Ibid. hlm. 7.
[10] Bdk. Ibid. hlm. 5.
[11] Orang yang mempunyai hajat dan sebagai penyewa pertunjukan wayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar