Kamis, 29 November 2012

ARTI SEBUAH PERSAHABATAN

(Plato dalam Ajarannya tentang Persahabatan)
Oleh: Angga Nofianto

Pengantar
Plato
            Setiap orang di dalam hidupnya pasti menginginkan terjalinnya sebuah persahabatan. Persahabatan begitu tinggi nilainya, sehingga setiap manusia baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia selalu berusaha untuk memerolehnya. Persahabatan menjadi idaman setiap orang dan sangat tampak terutama bagi mereka yang dalam proses pencarian jati diri (remaja). Demikian pula di dalam dialog Sokrates dengan Lysis yang menunjukkan betapa eksistensi dari persahabatan sangat dirindukan kehadirannya.
“Ada orang yang ingin memiliki kuda-kuda, yang lain menginginkan anjing-anjing, emas dan yang lain mengingikan kehormatan: aku tidak memedulikan hal-hal itu, tetapi dengan penuh hasrat (erotikos) aku menginginkan sahabat-sahabat, dan aku lebih suka memiliki seorang sahabat yang baik (philon agathon) daripada burung puyuh atau ayam jago yang paling bagus sedunia; . . . . Dan aku begitu yakin, . . . . Aku jauh lebih ingin mendapatkan seorang teman (betairon) daripada segala emas milik Darius, . . . . Aku lebih memilih teman-temanku [212a].”[1]    
Persahabatan sejati menjadi impian setiap orang. Akan tetapi, di zaman modern yang sarat akan pertimbangan-pertimbangan untung dan rugi, arti dari term persahabatan itu sendiri menjadi kabur. Eksistensi persahabatan menjadi dipertanyakan. Sehingga muncullah berbagai macam pertanyaan seputar siapa sahabat itu? Apa arti persahabatan itu? Atau, adakah persahabatan itu sendiri?
Kenyataan ini tentu menjadi bahan permenungan tersendiri, terutama bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari arti persahabatan di zaman ini. Persahabatan sejati yang dalam pengertiannya dapat memerjelas pemahaman akan eksistensi persahabatan itu sendiri. Melalui Plato dalam dialog antara Sokrates dengan Lysis, akan semakin diperjelas arti dari persahabatan sejati, serta apa tujuan dari persahabatan itu. Sehingga dalam menjalin suatu relasi persahabatan dapatlah diperoleh salah satu model persahabatan yang ideal menuju pada suatu kebaikan.
Sekilas Plato[2]
            Plato[3] adalah seorang filosof terkemuka Yunani yang lahir di Athena pada tahun 472 SM dan meninggal pada tahun 347 SM dalam usia 80 tahun. Plato berasal dari keluarga Aristokrasi yang turun temurun memegang peranan penting dalam politik Athena. Pelajaran filosofi pertama Plato diperolehnya dari Kratylos yang mengajarkan semuanya berlalu seperti air. Akan tetapi, ajaran seperti itu tidak hinggap di dalam kalbu Plato yang terpengaruh oleh tradisi keluarganya.
            Sejak berumur 20 tahun Plato mengikuti pelajaran Sokrates. Pelajaran itulah yang memberikan kepuasan baginya. Pengaruh  Sokrates semakin hari semakin mendalam padanya. Ia menjadi murid Sokrates yang setia sampai pada akhir hidupnya. Tak lama sesudah Sokrates meninggal Plato pergi dari Athena. Itulah permulaan ia mengembara 12 tahun lamanya, dari tahun 387 SM sampai 399 SM. Mula-mula ia pergi ke Megara, tempat Euklides mengajarkan filosofinya. Dari Megara ia pergi ke Kyrena di mana ia memerdalam pengetahuannya tentang matematik pada seorang guru yang bernama Theodoros. Kemudian Plato pergi ke Italia Selatan dan terus ke Sirakusa di pulau Sisilia. Selama pengembaraannya itulah Plato terus berfilsafat dan menghasilkan berbagai macam buah tangan. Buah tangan atau tulisan Plato hampir rata-rata berbentuk dialog. Jumlahnya tidak kurang dari 34 buah. Belum dihitung lagi tulisan-tulisannya yang berupa surat dan puisi.
Memberi uraian dan mengajar  filosofi berdasarkan dialog, bersoal-jawab, adalah kerja Plato yang terutama di Akademia[4]. Hanya dalam waktu luang ia mencurahkan pikirannya pada karang mengarang tentang berbagai masalah yang ditinggalkan berupa tulisan. Plato tidak pernah menikah dan tidak punya anak. Kemenakannya Speusippos menggantikannya mengurus Akademik. Plato mempunyai kedudukan yang istimewa sebagai seorang filosof. Ia pandai menyatukan puisi dan ilmu, seni dan filosofi. Ajaran-ajarannya dititik beratkan kepada pengertian moral dalam segala perbuatan. Tak heran bahwa persahabatan juga menjadi salah satu perhatiannya.
Persahabatan yang Baik dalam Terang Plato
            Melalui permenungan yang mendalam serta ide-ide cemerlangnya Plato mengajarkan tentang suatu relasi persahabatan. Secara tidak langsung, melalui dialog antara Sokrates dengan Lysis Plato mengungkapkan bagaimana gambaran dari persahabatan yang baik itu. Dalam terang ajaran Plato, maka akan diungkapkan nilai-nilai keutamaan persahabatan yang baik dalam menjalani sebuah penziarahan kehidupan.
a.      Tidak Berlandaskan pada Ketertarikan-ketertarikan Luar
            Plato melalui Sokrates berkata, “Dengan demikian anak-anakku, lanjutku, kalau seseorang merasakan nafsu (epithumia) atau mencintai seseorang [222a], ia tidak akan bisa menginginkan atau mencintainya atau bersahabat dengannya kalau ia tidak bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah milik orang yang dicintai itu, entah itu dari segi jiwa, kebersediaan, tingkah laku atau secara rupa (eidos) fisiknya.”[5] Dalam perkataan Sokrates ini bila ditilik dari objeknya, cinta (eros), persahabatan (philia), dan nafsu (epithumia) memiliki kesamaan. Objek bagi ketiga hal tersebut adalah sesuatu yang tampak seketurunan (oikeion)[6] dengannya. Namun agar kita tidak jatuh pada generalisasi, Sokrates lalu menunjukkan bahwa oikeion  itu bertingkat-tingkat dan ada hal-hal (oikeion) yang lebih seketurunan daripada hal lain. Maka Sokrates menguraikan bahwa sesuatu yang benar-benar “seketurunan” adalah antara jiwa dan aspirasinya terhadap kebaikan.[7] Jadi kebaikan memegang peran penting dalam terealisasinya sebuah persahabatan.
            Oleh sebab itu, bila philia hanya berlandaskan pada ketertarikan-ketertarikan luar (seperti ketampanan secara fisik mau pun latar belakang keluarga yang terhormat) maka hal tersebut tidak bisa menjadi landasan yang kokoh bagi terjalinnya persahabatan sejati. Karakter yang demikian menunjukkan betapa cinta yang dikendalikan oleh nafsu besar dan bukan hasrat akan kebaikan, akhirnya membutakan diri dan sama sekali tidak mampu mendengarkan rasio.[8] Sehingga, apa pun yang diperbuat dalam relasi persahabatan seakan-akan tidak ada gunanya karena tidak menghasilkan kebaikan.
b.      Antara Sahabat Semua Menjadi Milik Bersama
Ajaran Plato tentang persahabatan yang baik juga tampak melalui dialog Lysis yang berbunyi, “Dan kata orang, antara sahabat, semua menjadi milik bersama, jadi untuk soal ini paling tidak kalian tidak saling membedakan, kalau kalian benar-benar bersahabat.”[9] Dari perkataan ini jelas merujuk pada hal ekonomis, bahwa antara sahabat tidak perlu khawatir kekurangan hal-hal material karena semua menjadi milik bersama. Meski kutipan Sokrates ini bernada ekonomis, kelihatannya Sokrates memaksudkan sesuatu yang lebih umum. Antar sahabat berbagi bukan hanya harta, tetapi sesuatu yang lebih mendalam lagi, yakni dasar persahabatan itu sendiri.[10] Dasar persahabatan di sini mengacu pada hubungan saling berbagi dalam hal-hal yang tidak hanya bertolak pada materi, melaikan lebih kepada saling berbagi secara emosional.
Seperti halnya yang diungkapkan oleh Walther, “Alter ego est amicus: cuncta mecum habet communia” yang artinya “Sahabat merupakan diriku yang lain: dengannya semua menjadi milik bersama.”[11] Dengan demikian, dalam relasi philia terciptalah situasi saling berbagi dalam hal-hal non materi (emosional) seperti cita-cita, harapan, perasaan, mau pun selera. Hal ini terungkap dari dua kalimat Latin berikut, “Tu vero omnia cum amico delibera” yang artinya “rundingkanlah semuanya dengan seorang sahabat” dan “Cum amico omnia amara et dulcia communicate velim” yang artinya “Aku menginginkan agar membagikan segala sesuatu dengan sahabat, baik yang pahit mau pun yang manis” (baik dalam suka mau pun duka).[12]
c.       Bersumber pada Pengetahuan
Sebagai bagian penting dari ajarannya tentang persahabatan, Plato melalui Sokrates juga mengatakan, “Jadi, kalau bisa menjadi bijaksana (sophos), anakku, semua akan menjadi sahabatmu, dan semua akan seketurunan (oikeion) denganmu, karena kamu berguna dan baik; jika tidak, tak seorangpun menjadi sahabatmu entah itu ayahmu, ibumu, atau orang-orang seketurunan denganmu.”[13] Dari kutipan ini ditemukan definisi persahabatan Plato. Sahabat dan persahabatan (philia) hanya muncul bila ada pengetahuan. Pengetahuan menjadi sumber atas apa pun yang “berguna” dan “baik.” Dengan demikian setiap orang yang berhikmat (phroneis) dan bijak (sophos), artinya berpengetahuan, dengan sendirinya menjadi “berguna” dan “baik.” Orang lain akan ingin bersahabat dengannya, dan dengan demikian menjadi “seketurunan” (oikeion) dengannya. Artinya, saat mereka hendak bersahabat dengan orang bijak (orang yang “berguna” dan “baik”), mereka hanya merasakan dan mengikuti pada dorongan pada kebaikan yang sama. Dengan begitu Plato menawarkan suatu bentuk persahabatan yang lebih mendalam dari pada sekedar relasi keturunan darah, yaitu relasi “seketurunan” demi pengetahuan, kebijaksanaan, dan kebaikan.[14]
d.      Model Persahabatan
Dalam kaitannya dengan model persahabatan, Plato memasukkan argumentasinya melalui dialog Lysis sebagai berikut, “. . . Jika pada akhirnya kita menimbang apa itu sahabat kebaikan, si sahabat itu sendiri bukanlah sesuatu yang baik atau jahat.”[15]  Melalui argumentasi tersebut, model persahabatan yang diajukan adalah: di satu sisi, ada objek persahabatan (yaitu kebaikan itu sendiri), dan di sisi lain, ada subjek persahabatan (yaitu dia yang tidak baik sekaligus tidak jahat).[16] Dua unsur inilah yang terus dipertahankan Plato ketika berbicara tentang apa itu persahabatan (philia): sebuah relasi non resiprokal[17] antara subjek dan objek yang dicarinya (dan objek persahabatan ini bukan lagi orang atau seseorang), yang dimaksud di sini lebih pada “hal ketiga” (proton philon) atau kebaikan. Dan karena bukan orang, di satu sisi, ia tidak terlibat dalam resiprositas dengan para sahabat, dan di sisi lain, ia justru menjadi landasan resiprositas di antara para sahabat.[18]
Penutup
            Meski dapat dikatakan bahwa ajaran Plato tentang persahabatan ini sudah kuno karena Plato sendiri sudah meninggal ± 24 abad yang lalu, tetapi masih sangat relevan bila di zaman ini nilai-nilai dari persahabatan itu sendiri dicoba untuk diterapkan. Plato melalui pemikiran filosofinya mencoba mengajarkan bahwa persahabatan itu bukanlah sebatas pada relasi antar dua orang saja. Melainkan persahabatan itu sendiri membutuhkan pihak ketiga (hal ketiga) yang adalah kebaikan. Melalui ajaran moral tentang persahabatan, secara tidak langsung Plato mengajak setiap orang untuk, pertama mengarahkan segala aktivitas persahabatan tidak pada nafsu duniawi (penampilan mau pun latar belakang keluarga) semata, kedua memiliki rasa saling memiliki sehingga perbedaan-perbedaan yang sering kali menyebabkan perpecahan tidak terjadi, dan ketiga menjadikan pengetahuan sebagai sumber dari segala relasi persahabatan.
            Unsur-unsur yang demikian akhirnya menjadi landasan yang kokoh bagi terciptanya apa yang disebut persahabatan (philia) sejati. Persahabatan sejati yang dalam eksistensinya mengarahkan pada masing-masing pribadi kepada suatu tujuan yaitu kebaikan (proton philon). Di sinilah kebaikan menjadi prioritas dari segala hal yang terdapat di dalam jalinan persahabatan. 


Daftar Pustaka

Buku:
Pandor, Pius, CP. Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Jakarta: OBOR, 2010.
Strathern, Paul.  90 Menit Bersama Plato (judul asli: Plato in 90 Minutes), terj. Frans Kowa. Jakarta: Erlangga, 2001.
Tim Penyusun Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Wibowo, A. Setyo (penerjemah dan penafsir). Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis). Jakarta: iPublishing, 2009.
Internet:
Sasongko, Thathit Dwi. Biografi dan Filsafat Plato, (http://thathit.wordpress.com/2010/02/16/biografi-dan-filsafat-plato/ diakses Selasa, 23 Oktober 2012, pkl. 5.31 WIB).


[1] A. Setyo Wibowo (penerjemah dan penafsir), Mari Berbincang Bersama Plato: Persahabatan (Lysis), Jakarta: iPublishing, 2009, hlm. 51.
[2] Thathit Dwi Sasongko. Biografi dan Filsafat Plato, (http://thathit.wordpress.com/2010/02/16/biografi-dan-filsafat-plato/ diakses Selasa, 23 Oktober 2012, pkl. 5.31 WIB).
[3]  Plato (dalam bahasa Yunani Platon) merupakan nama julukan dari Aristokles (nama asli Plato). Plato sendiri artinya lebar atau rata. Kata lebar dikaitkan pada bentuk bahunya yang lebar. Lih. Paul Strathern,  90 Menit Bersama Plato (judul asli: Plato in 90 Minutes), terj. Frans Kowa, Jakarta: Erlangga, 2001, hlm. 7.
[4] Akedemia adalah sekolah yang didirikan oleh Plato (386 SM) dan dianggap sebagai universitas pertama. Terletak di kawasan hutan kecil Akademe, sekitar satu mil di sebelah barat laut Athena, jauh dari Pintu Gerbang Eriai di dalam tembok kota kuno. Wilayah itu merupakan sebuah taman yang dipenuhi dengan pepohonan dan dihiasi sejumlah patung dan kuil. Akademia sendiri diambil dari nama hutan Akademe. Nama Akademe berasal dari nama seorang penduduk bernama  Hekademos, seorang tokoh setengah dewa dalam mitologi Attika. Ibid. hlm. 19.
[5] A. Setyo Wibowo, Op. Cit., hlm. 76.
[6] Istilah oikeion diterjemahkan sebagai “sekuturunan” (memiliki hubungan satu keturunan dengan. . .) karena istilah ini merujuk pada orang tua, kerabat (keluarga dekat), atau siapa pun yang termasuk dalam satu oikia (rumah). Ibid. hlm. 96.
[7] Ibid. hlm. 130.
[8] Ibid. hlm. 82.
[9] Ibid. hlm. 41.
[10] Ibid. hlm. 92.
[11] Pius Pandor, CP, Ex Latina Claritas Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan, Jakarta: OBOR, 2010, hlm. 45.
[12] Ibid. hlm. 47.
[13] A. Setyo Wibowo, Op. Cit., hlm. 48.
[14] Ibid. hlm. 99-100.
[15] Ibid. hlm. 62.
[16] Sebagaimana argument inti dalam Lysis, persahabatan atau relasi cinta hanya mungkin ada manakala orang merasakan ada “kekurangan” dalam dirinya. Rasa kekurangan pokok dalam diri manusia ini, menurut Sokrates, berkaitan dengan kebaikan. Karena ia merasa “masih kurang,” artinya ia belum menjadi “orang baik,” atau dalam kata-kata Sokrates sendiri “tidak baik sekaligus tidak jahat” [220d]. Ibid. hlm. 110.
[17] Dalam KBBI edisi ke-3, hlm. 952, “resiprokal” memiliki arti “bersifat saling berbalasan,” dengan imbuhan “non” mejadi “non resiprokal” berarti “tidak memiliki sifat saling berbalasan”.
[18]  A. Setyo Wibowo, Op. Cit., hlm. 115-116.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar