(PERSPEKTIF
FILSAFAT MIRCEA ELIADE)
Oleh: Nikolaus Ena
Abstraksi
Gunung Kawi (halomalang.com) |
Gunung Kawi tidak hanya
sebagai obyek wisata, tetapi juga sebagai tempat peziarahan dengan melakukan
ritual di pasarean atau makam Mbah Jugo
dan Mbah Imam Sujono. Pesugihan Gunung Kawi merupakan suatu tradisi kepercayaan
kuno yang berkembang hingga sekarang. Banyak orang percaya ketika mengadakan
ritual di tempat ini akan memperoleh berkat pesugihan atau kekayaan (ngalap berkat). Rasa sugesti
orang-orang yang berkunjung ke tempat ini merupakan landasan yang menjadi
stigma yang dominan dan sangat melekat.
Berdasarkan konsep ini maka menarik perhatian publik, sehingga orang
berbondong-bondong berziarah ke Gunung Kawi terutama berasal dari etnis
Tionghoa. Doa dan ritual ini dilakukan pada tiap malam Jumat Legi dan satu Suro (Muharam).
Tempat pesugihan Gunung Kawi itu memang unik. Bila keunikan ini dihubungkan
dengan keyakinan memang sulit dijelaskan. Namun mitos pesugihan Gunung Kawi ini
diyakini oleh banyak orang, bahkan telah menjadi suatu culture masyarakat Malang dan sekitarnya. Tulisan ini ditinjau dari perspektif filsafaf
Mircea Eliade untuk mengungkapkan fenomena di balik mitos pesugihan Gunung
Kawi.
Kata kunci: Gunung Kawi, pesugihan, ritual,
Mbah Jugo, Mbah Imam Sujono, etnis Tionghoa, Jumat Legi, Satu Suro (Muharam),
filsafat Mircea Eliade.
1.
Menengok
Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Budaya Jawa Timur,
terutama masyarakat kota Malang sangat mempercayai kesakralan malam Jumat Legi
dan Satu Suro (Muharam). Pada malam ini banyak orang membakar kemenyan sebagai
bagian dari ritual bagi para leluhur. Hari-hari ini dijadikan kesempatan untuk
memperoleh berkat. Praktek ini sangat kental dilakukan orang di Gunung Kawi
dalam ritual pesugihan untuk memperoleh kekayaan.
Gunung Kawi yang
terletak di desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur
merupakan tempat yang sakral dan sangat populer. Gunung yang menyimpan kekayaan
dan tak dapat diungkapkan kemisteriannya. Gunung Kawi dengan ketinggian kurang
lebih 800m dari permukaan laut dan temperatur suhu rata-rata antara 28-30
Celcius[1].
Tempat ini tidak hanya sebagai obyek wisata umum tetapi juga menjadi wisata umum
masyarakat Tionghoa. Setiap hari pasti ada orang Tionghoa, termasuk pribumi
naik ke Gunung Kawi. Biasanya peziarahan yang sangat ramai terjadi pada hari-hari libur dan cuti
bersama (atau Lebaran). Mengapa demikian? Karena adanya kepercayaan Jawa (Kejawen),
maka kunjungan dikaitkan dengan hari-hari penting Jawa misalnya; Jumat Legi,
Senin Pahing. Satu Suro dan Tahun Baru. Maka tidaklah mengherankan pada
hari-hari ini penginapan di sekitar Gunung Kawi dari tarif yag murah hingga
yang mahal dipadati oleh para peziarah.
Bagi orang Jawa Timur, Gunung
Kawi merupakan temapat pesugihan. Tetapi bagi kalangan Kejawen, Gunung kawi
lebih dilihat sebagai tempat pelestaraian budaya Jawa. Hal ini didukung oleh
bayaknya kegiatan ritual Kejawen yang teratur dan dihadiri oleh para pecinta
budaya Jawa di seluruh pulau Jawa. Jadi, di sini ada dua aliran yang mengadakan
ritual di Gunung Kawi yakni Kejawen dan etnis Tionghoa.
Pesugihan Gunung Kawi
diyakini oleh para peziarah bahwa dapat memberikan ngalap berkah (mendapat berkat) kekayaan atau keberuntungan di bidang
bisnis, pertanian, jodoh, dan lain-lain. Gunung yang memberikan impian masa depan yang
cerah dan diperoleh dengan cara yang instan. Mitos ini diyakini banyak orang,
terutama mereka yang sudah merasakan “berkah” berziarah ke Gunung kawi terutama
di passarean Gunung Kawi. Kebanyakan peziarah meminta untuk menjadi kaya,
usahanya berhasil, bebas dari kebangkrutan, dan lain sebagainya. Pokoknya, masalah keuangan
dalam sekejab mata dapat diatasi dengan mudah. Gunung Kawi menyimpan seribu
satu mimpi. Konsep inilah yang menjadi dorongan orang berjubel ke Gunung Kawi.
Siapa juga yang tidak tertarik dengan ritual yang menjanjikan ini. “Barangsiapa
melakukan ritual di Gunung Kawi dengan rasa kepasrahan, kepercayaan dengan
pengharapan yang tinggi maka permohonanya akan dikabulkan.
Ada dua model alternatif
pesugihan Gunung Kawi yang diatur oleh juru kunci atau pemandu (Mas wijoyo) Alternatif pertama; jika si pemohon mempunyai banyak
waktu untuk datang langsung ke Gunung Kawi. Hal ini berarti si pemohon
berkewajiban mengikuti segala proses ritualnya hingga selesai menjadi
tanggungan si pemohon. Juru kunci atau pemandu memberi bimbingan atau jalan
agar mencapai keberhasilan. Tujuan ini dapat tercapai jika si pemohon mempunyai
disposisi dan kemantaban hati dalam ritual ini. Ritual yang paling cepat biasanya
hanya sebulan, tetapi bila ada berbagai godaan , maka ritual pasti gagal. Alternatif kedua; jika si pemohon tidak
mempunyai banyak waktu dan keperluan uang sangat mendesak maka dapat dilakukan
pesugihan jarak jauh dapat diwakili oleh juru kunci Gunung Kawi dan biasanya
sampai terkabulnya permohonan si
pemohon. Pesugihan ini dapat berhasil dengan baik, bila si pemohon menyiapkan
uang sebagai mahar atau mas kawin. Uang dan mahar ini digunakan untuk membeli
minyak jafaron, foniswalla, misik, apel,
jin, kembang selamatan, kemenyan, nasi kuning, ayam panggang cemani, darah
burung gagak hitam, darah harimau putih, rokok, dan keperluan-keperluan lainnya yang berhubungan dengan pesugihan.
Kebanyakan yang melakukan ziarah ke Gunung Kawi ini adalah
warga Tionghoa. Mengapa banyak orang Tionghoa berkunjung ke tempat ini? Menurut
cerita yang berkembang, dulu pernah ada seorang etnis Tionghoa, bernama Tan Kie Lam, pernah diobati dan disembuhkan oleh Raden Mas Imam Sujono dengan air suci dari guci wasiat
peninggalan Eyang Jugo. Untuk menghormati Eyang Raden Mas Imam sujono, Tan Kie
Lam selanjutnya berguru dan menetap di padepokan di Kawi,[2] serta membangun tempat ibadah bagi warga Tionghoa untuk menghormati
sang guru.
Kepopuleran Pesarean Kawi di kalangan etnis Tionghoa konon juga dimulai dari kesuksesan Ong Hok Liong mendirikan pabrik rokok Bentoel setelah dia datang dan berguru di padepokan Gunung Kawi,[3] dan mulai rutin untuk beziarah ke Gunung Kawi. Konon dikatakan suatu hari ia bermimpi di mana-mana ia melihat tanaman bentoel (Jawa: ubi talas), dan mimpi ini diceriterakan kepada juru kunci makam. Ia menyarankan agar memberi nama pabrik rokok itu Bentoel. Semenjak itu usaha Ong berkembang cukup pesat, bahkan bertahan hingga kini. Dengan demikian sebagai ungkapan syukur, Ong pun turut berpartisipasi dalam pengembangan kompleks Pasarean Gunung Kawi. Bahkan Ong bersama isterinya secara rutin berziarah ke makam Pasarean Gunung Kawi. Kesuksesan Ong ini memberi pengaruh yang sangat besar bagi yang lainnya. Selanjutnya banyak etnis Tionghoa ramai berkunjung ke Pasarean Gunung Kawi. Mereka yang merasa semakin sukses kemudian menceriterakan kepada teman-teman atau saudara-saudaranya tentang apa yang mereka dapatkan atau alami ini.
Kepopuleran Pesarean Kawi di kalangan etnis Tionghoa konon juga dimulai dari kesuksesan Ong Hok Liong mendirikan pabrik rokok Bentoel setelah dia datang dan berguru di padepokan Gunung Kawi,[3] dan mulai rutin untuk beziarah ke Gunung Kawi. Konon dikatakan suatu hari ia bermimpi di mana-mana ia melihat tanaman bentoel (Jawa: ubi talas), dan mimpi ini diceriterakan kepada juru kunci makam. Ia menyarankan agar memberi nama pabrik rokok itu Bentoel. Semenjak itu usaha Ong berkembang cukup pesat, bahkan bertahan hingga kini. Dengan demikian sebagai ungkapan syukur, Ong pun turut berpartisipasi dalam pengembangan kompleks Pasarean Gunung Kawi. Bahkan Ong bersama isterinya secara rutin berziarah ke makam Pasarean Gunung Kawi. Kesuksesan Ong ini memberi pengaruh yang sangat besar bagi yang lainnya. Selanjutnya banyak etnis Tionghoa ramai berkunjung ke Pasarean Gunung Kawi. Mereka yang merasa semakin sukses kemudian menceriterakan kepada teman-teman atau saudara-saudaranya tentang apa yang mereka dapatkan atau alami ini.
Di tempat ini pengunjung diperkenankan untuk
mengambil ciam-sie yaitu surat ramalan
keberuntungan yang sudah menjadi budaya tradisional masyarakat Tionghoa.[4]
Ciam-sie merupakan suatu uapacara dimana setiap orang yang berkunjung disuruh
untuk mengocok sebuah wadah (yang biasanya dibuat dari bambu) yang berisi
batangan-batangan tentang petunjuk nasib manusia. Mereka mengocok sampai
salah satu diantaranya jatuh ke lantai. Inilah peruntungan bagi yang
melakukannya, sebab pada batang-batang ini
ada petunjuk-petunjuk yang tertera dan berbentuk abstrak. Dengan
demikian unruk meahami apa artinya petunjuk ini dibutuhkan seorang penerjemah
yang telah disiapkan oleh pengelolah untuk menerjemahkan ramalan yang
dimaksudkan dalam batangan bambu tersebut.[5] Lonjakkan
pengunjung yang melakukan ritual di Gunung Kawi yakni pada hari Jumat Legi.
Selain itu, pada tanggal 12 bulan Suro pada hari Senin Pahing diperingati sebagai hari pemakaman
Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Sehingga pada tanggal 12 bulan Suro pada hari Senin Pahing, tepat pada bulan Selo (bulan Jawa ke-sebelas), diadakan sesajian dan selamatan yang dikuti oleh penduduk Desa Wonosari.
Adapaun ritual yang dilakukan yaitu dengan meletakkan sesajian, membakar dupa, dan bersemadi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.[7] Jika pengunjung berada di bangunan makam tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan mandi keramas sebalum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol kesucian baik secara lahiriah maupun batiniah sebelum berdoa.
Adapaun ritual yang dilakukan yaitu dengan meletakkan sesajian, membakar dupa, dan bersemadi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.[7] Jika pengunjung berada di bangunan makam tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan mandi keramas sebalum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol kesucian baik secara lahiriah maupun batiniah sebelum berdoa.
Adapun tempat yang
menjadi fokus utama atau sentral para pengunjung adalah pasarean atau kuburan Eyang Jugo dan Eyang Sujono.
Selain kedua tempat ini ada beberapa tempat yang “dikeramatkan” dan diyakini
mempunyai kekuatan magis untuk mendatangkan keuntungan antara lain;
1.1 Rumah
Padepokan Eyang Sujono
Lokasinya agak jauh di sebelah kompleks pasarean
dengan jarak kurang lebih 700m. Bangunan yang sangat unik ini tetap berdiri
kokoh sejak dulu hingga kini. Bangunan ini beratap joglo dan berdinding kayu jati, khas
arsitektur Jawa. Di depannya terdapat sebuah bangunan klenteng kecil berbentuk
segi delapan dengan lilin yang yang terus menyala, ini menunjukkan bahwa selalu digunakan untuk
bersembahyang oleh para pengunjung.[8] Rumah
padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujono yang
bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang
dikeramatkan milik Eyang Sujono, antara lain adalah bantal dan guling yang
berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro. Di
depan ruangan tempat menyimpan barang-barang pusaka ini terdapat aula yang
dapat dipergunakan oleh peziarah untuk beristirahat dan sekaligus menginap.
1.2
Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan
peninggalan Eyang Jugo. Zaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air
suci untuk pengobatan. Menurut pengakuan ada seorang perempuan paruh baya
nampak berbinar-binar matanya, ketika ditanya mengapa ia dengan antusias
mengantri untuk mendapatkan air dari guci kuno. Ia mangatakan bahwa dahulu
setelah air itu diminumkan kepada cucunya yang sakit, keesokan harinya anak ini
sembuh.[9] Masyarakat
sering menyebutnya dengan nama "jamjam” mungkin ingin menganalogkan dengan air
zam-zam yang ada di padang Arafah. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping
kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan
membuat seseorang menjadi awet muda.
1.3
Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan
mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon Dewandaru, pohon
kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa
disebut sebagai shianto atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujono menanam
pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Konon bagi para peziarah, pohon
ini dikeramatkan karena akan mendatangkan keberuntungan dan dijadikan simbol
perantara kekayaan. Bagi peziarah pohon ini memberikan keberuntungan dalam
hidup ini. Berdasarkan kepercayaan ini, maka para peziarah menunggu dahan,
buah, atau daun yang jatuh. Begitu ada yang
jatuh mereka berebutan untuk menyimpannya dan memanfaatkan sebagai zimat. Daun
ini biasanya dibungkus dengan selembar
uang kertas yang kemudian disimpan di dalam dompet.[10]
Menurut penjelasan dari Bapak Nanang, ketua Yayasan Ngesti Gondo, bahwa ada
cerita yang menyebutkan bahwa tanaman
ini adalah mukjizat dari tongkat Eyang Jugo yang ditancapkan, itu tidak benar.
Ada mitos yang berkembang bahwa tanaman ini memberi keberuntungan. Hal ini
berawal dari nasehat sesepuh di Pasarean yang mengatakan “kalau mau mendaptkan
keberhasilan, maka harus sabar menunggu jatuhnya buah atau daun dari pohon
Dewandaru” karena yang memberikan saran ini adalah orang yang menjadi panutan,
maka saran ini ditafsirkan secara lurus.
II SIAPAKAH EYANG JUGO DAN EYANG SUJONO?
Menurut
historisitasnya, Mbah Jugo dan Mbah Sujo adalah bukan orang Tionghoa. Sekitar
175 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Maret 1830, Kolonel Du Perron dan
Mayor Michiels diperintahkan Jenderal de Kock untuk menagkap Pangeran
Diponegoro.[11]
Ketika itu ada perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Kompeni Belanda
yang didelegasikan oleh Jenderal de Kock. Hasil perundingan ini menegaskan
untuk segera menangkap Pangeran Diponegoro. Dari Magelang Pangeran Diponegoro
di bawa ke Batavia, ke Manado, dan akhirnya diasingkan ke Makasar dan wafat di
kota itu pada tanggal 8 Januari 1855. Lalu bagaimanakah nasib para pengikutnya?
Ada sebagian mengikutinya ke Makasar,
tetapi sebagian tersebar di Jawa untuk menghindari diri dari penangkapan
Kompeni Belanda. Di antara para pengikut
ini adalah Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono. Keduanya melarikan diri ke Malang.
Mbah Jugo mengembara sampai daerah Kesamben Blitar tepatnya di dusun Djoego,
Desa Sanan, Kecamatan kesambe, Kabupaten Blitar.[12]
Diperkirakan Mbah Jugo sampai di dusun Djoego pada tahun 1840. Ia ditemani oleh
sesepuh Desa Sanan yang bernama Ki Tasiman.
Setelah tinggal cukup lama di desa ini,
sekitar tahun 1840-1850 datanglah muridnya yang juga putra angkat beliau yang
bernama Raden Mas Imam Sujono. Akhirnya tinggalah
Mbah Sujono bersama Mbah Jugo dan membantunya dalam mengelola padepokan Djoego.
Eyang Jugo tidak mempunyai istri. Ia mempunyai murid Mbah Sujono dan Ki
Tasiman. Kanjeng kyai Zakaria II, yang lebih dikenal Mbah Jugo merupakan seorang ulama
terkenal dari Keraton Surakarta. Kemudian Raden Mas Imam Sujono seorang
bangsawan yang menjadi Senopati Panglima pangeran Diponegoro dari keraton
Yogyakarta.[13]
Dikisahkan Eyang
Jugo pernah ke daratan China. Suatu hari ia bertemu dengan seorang perempuan
hamil yang kehilangan suaminya. Melihat hal ini Eyang jugo membantu ekonomi
janda yang miskin ini. Sikap welas asih telah menjadi kebiasaan Eyang Jugo.
Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Jawa ia berpesan kepada janda itu demikian;
Jika anak ini sudah besar, suruhlah ia datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa.
Anak ini bernama Tamyang. Pada tahun 40-an datangah Tamyang ke Gunung Kawi
untuk melihat makam eyang Jugo. Kedatangannya ini dengan tujuan untuk membalas
jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya.
Semenjak itu
keduanya tidak berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi merubah perjuangan
melalui pendidikan. Selain berdakwah kepada agama Islam dan mengajarkan ajaran
moral kejawen, mereka juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan
serat keterampilan lainnya yang berguna bagi penduduk setempat.[14]
Perbuatan
dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut,
sehingga banyak masyarakat dari daerah
Kabupaten Malang dan Blitar datang ke Padepokan mereka untuk menjadi pengikutnya. Untuk menghormati keduanya ini
setiap tahun para keturunan, pengikut dan peziarah berkunjung ke makam mereka
tepatnya setiap malam Jumat Legi, dan satu Suro. Di tempatnya ini biasanya
diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya.
III
ANALISA FILOSOFIS
Garis Besar Pandangan Mircea Eliade
Tentang Mitos
Mircea Eliade
lahir di Bukarest, Rumania, pada tanggal 9 Maret 1907. Ia adalah anak seorang
kapten tentara[15].
Pada tahun 1927 ia ke Italia mengikuti kuliah-kuliah filsafat dari G. Gentile,
seorang filsuf ide4al Italia. Pada tahun 1928 ia menulis disertasinya yang
berjudul Filsafat Italia dari Ficino sampai
Giordano Bruno untuk memperoleh gelar MA. Pada tahun 1928-1932 Eliade
tinggal di India. Ia belajar bahasa Sansekerta dan filsafat pada Universitas
Calcuta di bawah bimbingan professor Surendranath Dasgupta, seorang alih
filsafat India[16].
Kemudian ia tinggal di biara Rishikesh didaerah Himalaya. Pada tahun 1940 ia
diangkat menjadi atase kebudayaan pada kedutaan Rumania di London, tahun 1941
ia kembali ke Rumania, kemudian dipindahkan ke Lisabon dan kembali ke Bukarest
pada tahun 1942[17].
Pada musim pendudukan Nazi Jerman tahun 1945 ia lari ke Paris dan mengajar
sebagai dosen tamu di Ecole Pratique des
Hautes Etudes de Sorbonne. Karya–karyanya antara lain: Artikel The Enemy of The Silkworm, Ziarul Stiintelor
Populare, How I Discover the Philosopher dan buku-bukunya Myth and Reality, The
Myth of The Eternal Return or,cosmos and History, Myth Dreams and Mysteries, The Sacred and
profane, The Two and the One, The Quest History and Meaning in Religion[18]
Dalam penelitiannya tentang manusia arkhais
yang merupakan tema sentral. Ia mencatat
bahwa konfrontasi antara budaya kuno dan budaya kuno yang menjadi perdebatan
sepanjang zaman. Pertemuan ini menciptakan suatu kebutuhan akan dialog yang
hanya mungkin terjadi bila suatu
pengertian terhadap agama-agama arkhais[19]
Pengenalan akan masyarakat-masyarakat kuno ini akan memperkaya kesadaran
orang-orang modern akan kekayaan kebudayaan. Kebudayaan yang dikenal itu
meliputi beberapa unsur misalnya mitos-mitos yang merupan sesuatu yang sangat berpengaruh dalam hidup manusia.
Eliade mengatakan mereka yang hidup dalam
budaya yang kuno ini bukan disebut primitive tetapi lebih pada istilah arkhais atau preliterate. Istilah ini
mau melukiskan suatu masyarakat yang mempunyai cirri-ciri primitif, arkhais,
tradisional, pra-modern, eksotis, ahistoris dan pra-historis[20].
Kebudayaan tradisional ini tidak mengenal aktivitas profan. Alam ini tidak
pernah bersifat natural secara murni, tetapi sekaligus natural dan supra-natural. Bersifat supra-natural
karena alam merupakan kekuatan-kekuatan Yang Kudus dan figur realitas-realitas
transendental. Model-model supra-natural
dan ekstra-natural ini merupakan
contoh-contoh bagi orang arkhais[21]
Bagi orang arkhais, kehidupan merupakan sebuah sakramen, karena realitas yang
paling utama adalah Yang Kudus. Dengan demikian, setiap manusia mempunyai
kerinduan yang mendalam untuk tinggal dalam dunia semacam ini. Mereka berusaha
untuk dekat dengan obyek-obyek yang dikuduskan untuk mencapai religious
humanitas. Yang Kudus merupakan pusat
kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius itu adalah pengalaman
akan kratofani, hierofani dan teofani yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia.
Yang kudus adalah yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber semua
kehidupan dan energi[22] Masyarakat
arkhais itu tidak mengenal irreligiusitas.
Meskipun adanya jurang perbedaan yang sangat jauh tetapi ia tidak menyangkal
adanya kesatuan. Adanya kesamaan-kesamaan di antara keduanya.
Mitos mempunyai
peranan yang amat penting dalam kehidupan arkahis. Relasi mitos dan masyarakat
arkahis sangat erat. Baginya, tidak mungkin membicarakan manusia religius
arkhais tanpa membicarakan mitos, karena mitos merupakan dasar kehidupan sosial
dan kebudayaan.
Mitos
mengungkapkan cara berada dunia ini. Mitos menjadi suatu kebenaran yang pasti
dan menetapkan suatu kebenaran absolute yang tak bisa diganggu gugat[23].
Mitos itu berbicara tentang kenyataan, tentang apa yang pada realitasnya
terjadi. Mitos itu menguak suatu tabir misteri. Setiap penciptaan menggambarkan
suatu penjelmaan kekuatan kreatif ke dalam dunia, sebab setiap penciptaan
merupakan suatu karya ilahi karena merupakan penjelmaan dari Yang kudus[24]
Mitos mempunyai relasi yang erat dengan waktu dan ritus. Dengan melakukan ritus
manusia dapat menghapus waktu profan dan melupakan kondisi manusiawinya yang
tidak nyata.
Dalam ritus itu
manusia mengungkapkan segala yang disukai oleh yang kudus, agar ia memperoleh
keselamatan, kenyamanan hidup atau keberuntungan. Mitos itu bukan soal
pemikiran intelektual atau logika rasionalitas, tetapi lebih merupakan
orientasi spiritual atau kerohanian untuk berelasi dengan yang ilahi. Bagi
masyarakat arkahais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini
menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci,
bermakna, menjadi contoh bagi tindakan manusia dan memberi makna dan nilai
dalam kehidupan[25].
Mitos juga membentuk suatu pola
pengetahuan esotris yang mengandung kekuatan religius- magis. Pengetahuan itu
bukan hal-hal yang abstrak, tetapi berkaitan erat dengan pengetahuan yang
dialami secara ritual, baik melalui menceriterakan mitos secara seremonial
maupun dengan melakukan ritus.
Membuka Selubung Mitos Pesugihan
Gunung Kawi; Tradisi Ngalap Berkah
Di antara semua
gejala kebudayaan yang paling sulit didekati dengan analisis logis adalah
mitos. Ada pandangan bahwa, mitos adalah khaos
dalam dunia ini karena tak terpahami oleh lapangan rasionalitas manusia.
Bila mitos dihubungkan dengan dunia
religius tidak akan sejalan dan menjadi sebuah diskursus yang panjang dan tak
berbatas. Meskipun demikian, bagi Eliade
hal ini sangat penting untuk penyelidikan manusia religius arkhais[26]
Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan arena itu sulit untuk
membuat batasan-batasan yang defenitif terhadapnya[27]
Mitos berbicara hanya apa yang disebutnya dengan kenyataan, tentang apa yang
pada kenyataannya terjadi. Mitos mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
waktu dan ritus[28] Dalam konteks ini kita mempertanyakan apa
yang terjadi dengan tradisi ngalap berkah
di Gunung Kawi. Apakah benar atau tidak? Kita pun tidak mengetahuinya. Tetapi
yang perlu kita tahu bahwa kepercayaan akan kesakralan pasarean Gunung Kawi
menyedot banyak perhatian masayarakat yang notabene telah beragama. Kepercayaan
ini telah berkembang menjadi satu mitos,
sebuah klaim kebenaran yang sulit dilcak dalam perspektif rasional-posivistik[29].
Pasugihan Gunung Kawi merupakan sebuah mitos.
Mitos tidak
dapat dijabarkan dalam beberapa unsur statis tertentu. Mitos harus dipahami
lewat gairah batinnya, lewat mobilitas dan keanekaannya, lewat prinsip
dinamisnya[30]
Bila kita telusuri dari berbagai pengalaman orang yang pernah ke Gunung Kawi,
pasti kita memperoleh konsep yang hampir sama dengan perpektif yang bervariasi. Pengalaman akan apa yang dialami
ini menjadi rujukkan dasar kita memahami apa itu mitos konteks pesugihan Gunung
Kawi. Dari keterangan ini kita memperoleh dua model tampilan mitos. Di satu
pihak, mitos menunjukkan struktur konseptual, di pihak lain mitos tergantung
pada cara persepsi tertentu.
Pada tataran
ini, mitos dipahami sebagai suatu keterangan atau penjelasan atas realitas
dalam bentuk yang sederhana, sehingga dapat dimengerti oleh manusia dengan
segala keterbatasannya. Mitos mempunyai
kekuatan menyerap dunia dengan
caranya tersendiri, sehingga ia mempunyai kekhasan dalam menafsirkan suatu
pengalaman yang dialaminya. Mitos Gunung Kawi menyentuh perasaan manusia modern
yang cenderung memikirkan tentang materi sebagai satu-satunya orientasi dan
ukuran kesuksesan hidup manusia. Tetapi, tidak semua manusia mencapai
kesuksesan ini. Maka banyak menempuh berbagai cara untuk memperoleh kesuksesan.
Salah satunya di antaranya adalah
berziarah ke Gunung Kawi. Secara ekonomi, berziarah ke Gunung Kawi untuk
memperoleh kekayaan merupakan sesuatu
yang tidak rasional. Bagi seorang filosof tidak hanya berhenti pada sesuatu
yang sangat sederhana. Ia ditantang untuk mengembara, mencari, membongkar,
membuka selubung mitos pesugihan Gunung Kawi dan memeluk suatu realitas
kebenaran. Secara filosofi, berziarah ke Gunung Kawi untuk membina relasi
dengan alam, Yang Kudus, dimana manusia
memperoleh kekuatan.
Dalam konteks ini Eyang Jugo dan Sujono adalah
representasi dari Yang Kudus seperti dalam mayarakat arkahis. Segala ritual
yang dilakukan merupakan sebuah tindakan yang erat kaitan dengan pengudusan waktu profan. Maka ada waktu
khusus yang telah ditentukan yakni satu Suro dan Jumat Legi. Kedua hari ini
adalah hari yang dikuduskan. Pada kesempatan ini para peziarah diantar untuk
masuk dalam kebersatuan dengan yang ilahi. Kedua tokoh ini sebagai instrumen
atau pengantara untuk mencapai realitas tertinggi (Yang Mahakuasa). Maka, sebelum
melakukan ritual para peziarah harus memenuhi berbagai persyaratan termasuk
persiapan hati dengan baik. Tujuannya agar, melalui persiapan ini para peziarah bisa
berjumpa dengan yang ilahi sebagai sumber ngalap
berkah. Dengan melakukan ritual pada
pasarean Eyang Jugo dan Eyang Sujono para peziarah memperoleh kekuatan.
Kekuatan bisa berupa kekayaan, keberuntungan, mendapat jodoh dan sebagainya.
Bagi para peziarah mitos pesugihan Gunung Kawi ini merupakan suatu realitas
kebenaran yang benar-benar terjadi. Hal ini dibuktikan dengan berbagi
pengalaman memperoleh keberuntungan setelah berziarah ke tempat ini. Salah satu
faktor yang mempengaruhi membeludaknya peziarah ke tempat ini, karena dalam
masing-masing agama tiak menyediakan sesuatu yang nyata dan menjanjikan. Apa
yang ditawar oleh masing-masing agama dilihat sebagai utopia belaka. Menarik
bahwa yang berziarah di tempat ini dari berbagai agama.
Dalam pandangan
orang jawa fenomena ini memberi suatu keyakinan yang kuat bahwa adanya relasi
yang takterpisahkan antara manusia, alam dan dunia gaib atau Yang Kudus. Relasi
itu membentuk kebudayaan. Kebudayaan merupakan tanggapan manusia terhadap
tantangan alam dan tanggapan masyarakat. Keseluruhan hidup orang Jawa itu erat
kaitan dengan alam, maka tidaklah mengherankan setiap ada bencana alam atau
malapetaka dianggap sebagai akibat murka alam karena manusia tidak menjaga
keselarasan dengan alam. Keyakinan semacam ini merupakan tanggapan yang pada akhirnya
mengalami perkembangan pada ranah yang lebih luas. Perkembangan itu diwujudnyatakan
dalam alam semesta. Alam semesta merupakan
pantulan dari alam gaib dimana manusia menggantungkan atau mengikat dirinya
dengan eksistensi realitas tertinggi. Pola pikir ini menuntut orang Jawa untuk
mendisposisikan diri dan menjalankan perannya sesuai dengan peran yang telah
ditakdirkan yakni tunduk akan sang pemberi takdir itu. Hal ini berarti dalam melakukan
tindakan tidak boleh melampaui batas-batas yang telah digariskan.
Dalam
ajaran-ajaran filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum yakni; pertama, konsep pantheistik (kesatuan)
yaitu manusia dan jagad raya yang merupakan percikan zat Ilahi. Dalam kebatinan
Jawa dikenal dengan istilah Manunggaling
Kawula Gusti. Kedua, konsep tentang manusia yang terdiri dari dua segi,
lahiriah dan batiniah. Segi lahiriah adalah badan wadhag dan segi batiniah dianggap sebagai yang mempunyai asal-usul
dan tabiat Ilahi dan merupakan kenyataan yang sejati. Ketiga, konsep tentang perkembangan yakni perkembangan dan kemajuan
sebenarnya merupakan usaha untuk memulihkan kesatuan yang harmonis dan selaras. Keempat, konsep sikap hidup yaitu
manusia mengambil jarak dengan dunia sekitar baik aspek material maupun
spiritual, konsentrasi ditempuh dengan tanpa brata (mengekang hawa nafsu), dan representasi, upaya mencapai
keselarasan, memayuhayunig-buwana[31]
Keempat konsep ini diringkas dalam
arti kebudayaan sebagai proses realisasi diri sekaligus interaksi manusia demi
menjaga keselarasan dengan alam. Alam sekitar mendorong manusia untuk
memperkembangkan daya budinya untuk mengungkapkannya sebagai wujud kedekatan
manusia dengan alam. Salah satu cara pengungkapan itu terlihat dalam ritus pesugihan
Gunung Kawi. Ritus merupakan karakteristik kebudayaan yang tidak bisa diabaikan
oleh suatu budaya. Ritual itu berbasiskan simbolis, (bahasa, seni rupa, seni
tari) dimana telah dimiliki bersama dan dipelajari serta diungkapkan secara
bersama yang dipolesi dengan berbagi ketentuan. Ritus juga merupakan sarana
bagi manusia religius untuk beralih dari waktu profan ke waktu kudus[32]
Di dalam ritus, ia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi manusiwi; ia ke
luar dai waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu awal-mula yang kudus.
Ritus itu menggiring orang untuk masuk
ke dalam waktu kudus bertemu dengan realitas tertinggi.
Fenomena pesugihan Gunung Kawi ini tidak
sekadar rangkaian ritual, tetapi telah menjadi suatu kebudayaan ngalap berkat yang menyedot emosi
publik. Hal ini dibuktikan dengan begitu
membeludaknya para peziarah ke gunung ini. Para peziarah yang datang ke tempat
ini tidak hanya mencari ngalap berkah, tetapi
juga mereka membentuk suatu budaya baru
dengan satu pandangan, ritual dan berada dalam lingkungan yang sama. Padangan
baru itu disebut “selamat” atau ingin memperoleh keberuntungan.
Konsep selamatan
bagi orang Jawa merupakan hal yang integral dan tak dapat dengan kepercayaan
dan pandangan hidup. Bagi orang Jawa, diyakini bahwa kehidupan manusia selalu
mengarah pada pembentukkan kesatuan numinous
antara alam nyata, manusia dan alam adikodrati yang dianggap keramat
sebagai satu kesatuan yang membentuk trilogi kepercayaan masyarakat Jawa[33]
yakni bertumpu pada animisme dan dinamisme.
Animisme adalah
sebuah doktrin keyakinan yang mempercayai realitas jiwa sebagai daya kekuatan
yang luar biasa bersemayam secara mempribadi di dalam manusia,binatang,
tumbuh-tumbuhan dan segala yang ada di jagad raya ini[34]
Model kepercayaan ini menjadi cikal bakal munculnya tradisi penghormatan dan
penyembahan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Lebih dari
pada itu tradisi ini, dimodifikasi
dengan memberi sesajian sebagai bentuk penghormatan yang menjadi ritual pada
hari-hari tertentu. Adapun tujuan dari tradisi ini adalah agar dapat memberikan
keselamatan bagi keturunannya yang masih hidup[35] atau
memperoleh suatu kekuatan untuk dapat dipergunakan untuk menghindari bahaya. Sedangkan dinamisme adalah suatu konsep
kepercayaan yang beranggapan bahwa
benda-benda di alam ini mempunyai
kekuatan yang sakti dan keramat yang tidak mempribadi, meng-ada dalam
pohon, hewan dan benda-benda lainnya.
Dari dua konsep ini, orang Jawa menyadari
bahwa kekuatan-kekutan yang adinatural ini memiliki pengaruh yang kuat dalam
kehidupan manusia. Di satu pihak, ritual
itu hanyalah suatu cara atau jalan untuk
menghindari diri dari murka dari
kekuatan-kekuatan ini. Di pihak, lain ritual adalah jembatan untuk
menghubungi manusia dengan kehendak Tuhan. Dalam konteks ini hendaknya dipahami
dalam seluruh rangkaian ritual pesugihan Gunung Kawi. Selamatan yang dilakukan
para peziarah di Gunung Kawi hanyalah memusatkan perhatian pada alam sakral, agar dapat berdialog dengan Eyang jugo dan
Eyang Sujono. Untuk itu, dibutuhkan
purifikasi diri atau metanoia.
Ingatlah bahwa,
keyakinan semacam ini kemudian membentuk sugesti dalam diri para peziarah.
Mereka dapat berdialog dengan Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Tidak hanya itu,
dari Eyang Jugo dan Eyang Sujono dapat memberikan keberuntungan atau berkat. Bagi para peziarah
Gunung Kawi menyimpan seribu satu mimpi yang tak tersigkapkan. Ada apa di balik
semuanya ini? Ada pandangan bahwa, tradisi pesugihan Gunung Kawi adalah mitos.
Tidak hanya sebatas mitos tradisi pesugihan Gunung Kawi, terutama ritual yang
dilakuakan di pasarean berorientasi kepada kebersatuan dengan Manunggaling Kawula Gusti sebagai sumber
ilahi. Eyang Jugo dan Eyang Sujono
sebagai sarana untuk mencapai Yang Kudus, asal dari segala sesuatu, sang
Ada yang absolut. Konsep selamat yang dibungkus dengan selubung mitos yang
menekankan ngalap berkah, kini terbuka menjadi suatu rasionalitas yakni
mencapai kebersatuan dengan Manunggalaing Kawula Gusti. Tidak hanya ini, Perpektif
inilah yang dapat dijelaskan kepada manusia religius.
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pesugihan Gunung Kawi diyakini oleh para
peziarah bahwa dapat memberikan ngalap
berkah (mendapat berkat) kekayaan atau keberuntungan di bidang bisnis,
pertanian, jodoh dll. Gunung yang memberikan impian masa depan yang cerah dan
diperoleh dengan cara yang instan. Mitos ini diyakini banyak orang, terutama
mereka yang sudah merasakan “berkah”berziarah ke Gunung kawi terutama di
passarean Gunung Kawi. Kebanyakan peziarah meminta untuk menjadi kaya, usahanya
berhasil, bebas dari kebangkrutan dll. Pokoknya, masalah keuangan dalam sekejab
mata dapat diatasi dengan mudah. Gunung Kawi menyimpan seribu satu mimpi. Konsep
inilah yang menjadi dorongan orang berjubel ke Gunung Kawi. Siapa juga tidak
tertarik dengan ritual yang menjanjikan ini. “Barangsiapa melakukan ritual di
Gunung Kawi dengan rasa kepasrahan, kepercayaan dengan pengharapan yang tinggi
maka permohonanya akan dikabulkan. Di
tempat ini para peziarah mengadakan ritual di pasarean Mbah Jugo dan Sujono.
Bagi para peziarah kedua tokoh ini yang dapat dipercayai dalam urusn
kesejahteraan. Agar upacara permohonan
kepada Mbah Jugo dan Sujono berjalan lancar dibutuhakn guru kunci sebagai
pemandu ritualnya.
Mitos Gunung Kawi ini
sulit dipecahkan, tetapi perlu diakui bahwa
di balik semuanya itu ada Realitas Tertinggi. Tidak hanya sebatas pada
kedua tokoh ini (Mbah Jugo dan Sujono), tetapi mencapai kebersatuan dengan Manunggaling
kawula Gusti. Yang ilahi inilah yang memberikan keselamatan bagi manusia.
Konsep selamatan bagi orang Jawa merupakan hal yang integral dan tak dapat
dengan kepercayaan dan pandangan hidup. Bagi orang Jawa, diyakini bahwa
kehidupan manusia selalu mengarah pada pembentukkan kesatuan numinous antara alam nyata, manusia dan
alam adikodrati yang dianggap keramat sebagai satu kesatuan yang membentuk
trilogi kepercayaan masyarakat Jawa yakni bertumpu pada animisme dan dinamisme.
Melalui Eyang Jugo dan Eyang Sujono para peziarah mencapai kebersatuan dengan
realitas tertingi, Yang Maha Kudus, transenden. Pasugihan Gunung Kawi yang
dipandang secara mitos, kini berahli menjadi sesuatu yang bisa dilogikakan.
Artinya dari mitos menyeberang ke pengetahuan.
Untuk
memperoleh berkat para peziarah harus melakuakan ritus. Ritus ini tidak hanya sebagai sebuah
tindakan biasa, tetapi lebih pada pengudusan waktu.untuk itu ditetapkan hari
Jumat Legi dan Satu Muharam sebagai hari yang disakralkan. Peziarah yang paling
banyak adalah orang Tionghoa dan orang Jawa.
4.2
Saran
Tradisi
pesugihan Gunung kawi meninggalkan suatu pesan bahwa kita patut menghormati
para leluhur. Pada mulanya, tradisi penghormatan ini sangat baik, tetpi dalam
perjalanan orang mulai menjadikan sebagai tempat ngalap berkat. Untuk memperoleh
berkat, para peziarah harus memenuhi berbagai kriteria. Ada kecenderungan bahwa
pesugihan Gunung kawi ini dalam praktiknya lebih kepada arah magis. Artinya,
orang mulai perlahan-lahan meninggalkan keyakinan agamanya dan percaya akan
kekutan yang ada. Fenomena ini adalah
sinkritisme agama. Di satu sisi memiliki keyakinan terhadap agama yang
dianut, di sisi lain orang percaya akan sesuatu di luar apa yang telah imani,
bahkan menjadi prioritasnya. Hendaknya, segala ritus diarahkan untuk mencapai kebersatuan dengan yang maha Kudus
yakni manunggaling kawula Gus. Sementara
itu perlu adanya pelestarian tempat pesugihan Gunung Kawi, karena termasuk
obyek wisata yang ramai dikunjungi. Bagi orang Jawa Timur, Gunung Kawi
merupakan tempat pesugihan. Tetapi bagi kalangan Kejawen, Gunung kawi lebih
dilihat sebagai tempat pelestaraian budaya Jawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Endraswara
Suwardi:, Filsafat Hidup Jawa, Tangerang,
cakrawala, 2003.
Nugroho Alois A.
(terj.), Manusia dan Kebudayaan:
Sebuah essei tentang Manusia, Jakarta:
Gramedia;1987
Wikipedia
http//Mangablas. blogspot.com
Susanto. Hari P.S, Mitos
Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.
Wardoyo Prasto, dkk, Gunung Kawi: Fakta dan Mitos. Surabaya:
LinguaKata, 2002.
[1] Setiyono wahyudi dkk, Malang
Tempo Doeloe, Malang: Bayumedia publishing,
hlm .200 .
[2] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Linguakata,hlm.33
[3] Ibid. hlm.34.
[4]. Setiyono wahyudi dkk, Malang
Tempo Doeloe, Malang: Bayumedia publishing,
hlm.200 .
[5] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Surabaya: Linguakata; 2002, hlm, 51.
[6]Ibid.78.
[7] Wikipedia http//Mangablas.
blogspot.com.
[8] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Surabaya: Linguakata; 2002, hlm.42.
[9] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Surabaya:Linguakata; 2002, hlm.45.
[10] Ibid.hlm.48.
[11] Setiyono wahyudi dkk, Malang Tempo Doeloe,
Malang: Bayumedia publishing, hlm.2001.
[12] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Surabaya:Linguakata;2002,
hlm.63.
[13]Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi
Fakta dan Mitos. Surabaya:Linguakata;
2002 , hlm.62.
[14] Wikipedia http//Mangablas.
blogspot.com
[15] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut
Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.14.
[16] Ibid. hlm.15
[17] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut
Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.14
[18] Ibid.hlm.16.
[19] Ibid.hlm.42.
[20] Ibid.hlm.43.
[21] Ibid.
[22] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut
Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987,.hlm.45.
[23] Ibid.hlm.72.
[24]
Ibid.
[25]
Ibid.hlm.91.
[26] Arkhais adalah suatu istilah
yang digunakan oleh Eliade yang merujuk pada agama-agama yang paling kuno.
[27] P.S. Hari Susanto. Mitos Menurut
Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987, hlm.56.
[28]Ibid.hlm73.
[29] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi:
Fakta dan Mitos. Surabaya: LinguaKata, 2002, hlm. 108.
[30] Alois A. Nugroho (terj.), Manusia
dan Kebudayaan: Sebuah essei Tentang Manusia,
Jakarta: Gramedia;1987, hlm.115.
[31] Suwardi Endraswara:, Filsafat
Hidup Jawa, Tangerang, cakrawala, 2003, hlm. 46-47.
[32] P.S. hari Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade,
Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.56.
[33] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi:
Fakta dan Mitos. Surabaya: LinguaKata; 2002, hlm. 90.
[34] Ibid
[35] Ibid.hlm.92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar