Rabu, 16 Januari 2013

MEMBUKA SELUBUNG MITOS PESUGIHAN GUNUNG KAWI: TRADISI NGALAP BERKAT

(PERSPEKTIF FILSAFAT MIRCEA ELIADE)

Oleh: Nikolaus Ena

Abstraksi
Gunung Kawi (halomalang.com)
Gunung Kawi tidak hanya sebagai obyek wisata, tetapi juga sebagai tempat peziarahan dengan melakukan ritual di pasarean  atau makam Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono. Pesugihan Gunung Kawi merupakan suatu tradisi kepercayaan kuno yang berkembang hingga sekarang. Banyak orang percaya ketika mengadakan ritual di tempat ini akan memperoleh berkat pesugihan atau kekayaan (ngalap berkat). Rasa sugesti orang-orang yang berkunjung ke tempat ini merupakan landasan yang menjadi stigma yang dominan dan sangat  melekat. Berdasarkan konsep ini maka menarik perhatian publik, sehingga orang berbondong-bondong berziarah ke Gunung Kawi terutama berasal dari etnis Tionghoa. Doa dan ritual ini dilakukan pada tiap  malam Jumat Legi dan satu Suro (Muharam). Tempat pesugihan Gunung Kawi itu memang unik. Bila keunikan ini dihubungkan dengan keyakinan memang sulit dijelaskan. Namun mitos pesugihan Gunung Kawi ini diyakini oleh banyak orang, bahkan telah menjadi suatu culture masyarakat Malang dan sekitarnya. Tulisan ini ditinjau dari perspektif filsafaf Mircea Eliade untuk mengungkapkan fenomena di balik mitos pesugihan Gunung Kawi.
Kata kunci: Gunung Kawi, pesugihan, ritual, Mbah Jugo, Mbah Imam Sujono, etnis Tionghoa, Jumat Legi, Satu Suro (Muharam), filsafat Mircea Eliade.
1.      Menengok Asal Usul Pesugihan Gunung Kawi
Budaya Jawa Timur, terutama masyarakat kota Malang sangat mempercayai kesakralan malam Jumat Legi dan Satu Suro (Muharam). Pada malam ini banyak orang membakar kemenyan sebagai bagian dari ritual bagi para leluhur. Hari-hari ini dijadikan kesempatan untuk memperoleh berkat. Praktek ini sangat kental dilakukan orang di Gunung Kawi dalam ritual pesugihan untuk memperoleh kekayaan.
Gunung Kawi yang terletak di desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur merupakan tempat yang sakral dan sangat populer. Gunung yang menyimpan kekayaan dan tak dapat diungkapkan kemisteriannya. Gunung Kawi dengan ketinggian kurang lebih 800m dari permukaan laut dan temperatur suhu rata-rata antara 28-30 Celcius[1]. Tempat ini tidak hanya sebagai obyek wisata umum tetapi juga menjadi wisata umum masyarakat Tionghoa. Setiap hari pasti ada orang Tionghoa, termasuk pribumi naik ke Gunung Kawi. Biasanya peziarahan yang sangat  ramai terjadi pada hari-hari libur dan cuti bersama (atau Lebaran). Mengapa demikian? Karena adanya kepercayaan Jawa (Kejawen), maka kunjungan dikaitkan dengan hari-hari penting Jawa misalnya; Jumat Legi, Senin Pahing. Satu Suro dan Tahun Baru. Maka tidaklah mengherankan pada hari-hari ini penginapan di sekitar Gunung Kawi dari tarif yag murah hingga yang mahal dipadati oleh para peziarah.
Bagi orang Jawa Timur, Gunung Kawi merupakan temapat pesugihan. Tetapi bagi kalangan Kejawen, Gunung kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestaraian budaya Jawa. Hal ini didukung oleh bayaknya kegiatan ritual Kejawen yang teratur dan dihadiri oleh para pecinta budaya Jawa di seluruh pulau Jawa. Jadi, di sini ada dua aliran yang mengadakan ritual di Gunung Kawi yakni Kejawen dan etnis Tionghoa.
Pesugihan Gunung Kawi diyakini oleh para peziarah bahwa dapat memberikan ngalap berkah (mendapat berkat) kekayaan atau keberuntungan di bidang bisnis, pertanian, jodoh, dan lain-lain. Gunung yang memberikan impian masa depan yang cerah dan diperoleh dengan cara yang instan. Mitos ini diyakini banyak orang, terutama mereka yang sudah merasakan “berkah” berziarah ke Gunung kawi terutama di passarean Gunung Kawi. Kebanyakan peziarah meminta untuk menjadi kaya, usahanya berhasil, bebas dari kebangkrutan, dan lain sebagainya. Pokoknya, masalah keuangan dalam sekejab mata dapat diatasi dengan mudah. Gunung Kawi menyimpan seribu satu mimpi. Konsep inilah yang menjadi dorongan orang berjubel ke Gunung Kawi. Siapa juga yang tidak tertarik dengan ritual yang menjanjikan ini. “Barangsiapa melakukan ritual di Gunung Kawi dengan rasa kepasrahan, kepercayaan dengan pengharapan yang tinggi maka permohonanya akan dikabulkan.
Ada dua model alternatif pesugihan Gunung Kawi yang diatur oleh juru kunci atau pemandu (Mas wijoyo) Alternatif  pertama; jika si pemohon mempunyai banyak waktu untuk datang langsung ke Gunung Kawi. Hal ini berarti si pemohon berkewajiban mengikuti segala proses ritualnya hingga selesai menjadi tanggungan si pemohon. Juru kunci atau pemandu memberi bimbingan atau jalan agar mencapai keberhasilan. Tujuan ini dapat tercapai jika si pemohon mempunyai disposisi dan kemantaban hati dalam ritual ini. Ritual yang paling cepat biasanya hanya sebulan, tetapi bila ada berbagai godaan , maka ritual pasti gagal. Alternatif kedua; jika si pemohon tidak mempunyai banyak waktu dan keperluan uang sangat mendesak maka dapat dilakukan pesugihan jarak jauh dapat diwakili oleh juru kunci Gunung Kawi dan biasanya sampai  terkabulnya permohonan si pemohon. Pesugihan ini dapat berhasil dengan baik, bila si pemohon menyiapkan uang sebagai mahar atau mas kawin. Uang dan mahar ini digunakan untuk membeli minyak  jafaron, foniswalla, misik, apel, jin, kembang selamatan, kemenyan, nasi kuning, ayam panggang cemani, darah burung gagak hitam, darah harimau putih, rokok, dan keperluan-keperluan lainnya yang berhubungan dengan pesugihan.
Kebanyakan yang  melakukan ziarah ke Gunung Kawi ini adalah warga Tionghoa. Mengapa banyak orang Tionghoa berkunjung ke tempat ini? Menurut cerita yang berkembang, dulu pernah ada seorang etnis Tionghoa, bernama Tan Kie Lam, pernah diobati dan disembuhkan oleh Raden Mas Imam Sujono dengan air suci dari guci wasiat peninggalan Eyang Jugo. Untuk menghormati Eyang Raden Mas Imam sujono, Tan Kie Lam selanjutnya berguru dan menetap di padepokan di Kawi,[2] serta membangun tempat ibadah bagi warga Tionghoa untuk  menghormati sang guru. 
Kepopuleran Pesarean Kawi di kalangan etnis Tionghoa konon juga dimulai dari kesuksesan Ong Hok Liong mendirikan pabrik rokok Bentoel setelah dia datang dan berguru di padepokan Gunung Kawi,[3] dan mulai rutin untuk beziarah ke Gunung Kawi. Konon dikatakan suatu hari ia bermimpi di mana-mana ia melihat tanaman bentoel (Jawa: ubi talas), dan mimpi ini diceriterakan kepada juru kunci makam. Ia menyarankan agar memberi nama pabrik rokok itu Bentoel. Semenjak itu usaha Ong berkembang cukup pesat, bahkan bertahan hingga kini. Dengan demikian sebagai ungkapan syukur, Ong pun turut berpartisipasi dalam pengembangan kompleks Pasarean Gunung Kawi. Bahkan Ong bersama isterinya secara rutin berziarah ke makam Pasarean Gunung Kawi. Kesuksesan Ong ini memberi pengaruh yang sangat besar bagi yang lainnya. Selanjutnya banyak etnis Tionghoa ramai berkunjung ke Pasarean Gunung Kawi. Mereka yang merasa semakin sukses kemudian  menceriterakan kepada teman-teman atau saudara-saudaranya tentang apa yang mereka dapatkan atau alami ini.
 Di tempat ini pengunjung diperkenankan untuk mengambil ciam-sie yaitu surat ramalan keberuntungan yang sudah menjadi budaya tradisional masyarakat Tionghoa.[4] Ciam-sie merupakan suatu uapacara dimana setiap orang yang berkunjung disuruh untuk mengocok sebuah wadah (yang biasanya dibuat dari bambu) yang berisi   batangan-batangan tentang petunjuk nasib manusia. Mereka mengocok sampai salah satu diantaranya jatuh ke lantai. Inilah peruntungan bagi yang melakukannya, sebab pada batang-batang ini ada petunjuk-petunjuk yang tertera dan berbentuk abstrak. Dengan demikian unruk meahami apa artinya petunjuk ini dibutuhkan seorang penerjemah yang telah disiapkan oleh pengelolah untuk menerjemahkan ramalan yang dimaksudkan dalam batangan bambu tersebut.[5] Lonjakkan pengunjung yang melakukan ritual di Gunung Kawi yakni pada hari Jumat Legi. Selain itu, pada tanggal 12 bulan Suro pada hari Senin Pahing diperingati sebagai hari pemakaman  Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Sehingga pada tanggal 12 bulan Suro pada hari Senin Pahing, tepat pada bulan Selo (bulan Jawa ke-sebelas), diadakan sesajian dan selamatan yang dikuti oleh penduduk Desa Wonosari. 
Adapaun ritual yang dilakukan yaitu dengan meletakkan sesajian, membakar dupa, dan bersemadi selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan hingga berbulan-bulan.[7] Jika pengunjung berada di bangunan makam tidak boleh memikirkan sesuatu yang tidak baik serta disarankan mandi keramas sebalum berdoa di depan makam. Hal ini menunjukkan simbol kesucian baik secara lahiriah maupun batiniah sebelum berdoa.
Adapun tempat yang menjadi fokus utama atau sentral para pengunjung adalah pasarean atau kuburan Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Selain kedua tempat ini ada beberapa tempat yang “dikeramatkan” dan diyakini mempunyai kekuatan magis untuk mendatangkan keuntungan antara lain;

1.1  Rumah Padepokan Eyang Sujono
Lokasinya agak jauh di sebelah kompleks pasarean dengan jarak kurang lebih 700m. Bangunan yang sangat unik ini tetap berdiri kokoh sejak dulu hingga kini. Bangunan ini beratap joglo dan berdinding kayu jati, khas arsitektur Jawa. Di depannya terdapat sebuah bangunan klenteng kecil berbentuk segi delapan dengan lilin yang yang terus menyala, ini menunjukkan bahwa selalu digunakan untuk bersembahyang oleh para pengunjung.[8] Rumah padepokan ini semula dikuasakan kepada pengikut terdekat Eyang Sujono yang bernama Ki Maridun. Di tempat ini terdapat berbagai peninggalan yang dikeramatkan milik Eyang Sujono, antara lain adalah bantal dan guling yang berbahan batang pohon kelapa, serta tombak pusaka semasa perang Diponegoro. Di depan ruangan tempat menyimpan barang-barang pusaka ini terdapat aula yang dapat dipergunakan oleh peziarah untuk beristirahat dan sekaligus menginap.

1.2  Guci Kuno
Dua buah guci kuno merupakan peninggalan Eyang Jugo. Zaman dulu guci kuno ini dipakai untuk menyimpan air suci untuk pengobatan. Menurut pengakuan ada seorang perempuan paruh baya nampak berbinar-binar matanya, ketika ditanya mengapa ia dengan antusias mengantri untuk mendapatkan air dari guci kuno. Ia mangatakan bahwa dahulu setelah air itu diminumkan kepada cucunya yang sakit, keesokan harinya anak ini sembuh.[9] Masyarakat sering menyebutnya dengan nama "jamjam” mungkin ingin menganalogkan dengan air zam-zam yang ada di padang Arafah. Guci kuno ini sekarang diletakkan di samping kiri pesarean. Masyarakat meyakini bahwa dengan meminum air dari guci ini akan membuat seseorang menjadi awet muda.

1.3 Pohon Dewandaru
Di area pesarean, terdapat pohon yang dianggap akan mendatangkan keberuntungan. Pohon ini disebut pohon Dewandaru, pohon kesabaran. Pohon yang termasuk jenis cereme Belanda ini oleh orang Tionghoa disebut sebagai shianto atau pohon dewa. Eyang Jugo dan Eyang Sujono menanam pohon ini sebagai perlambang daerah ini aman. Konon bagi para peziarah, pohon ini dikeramatkan karena akan mendatangkan keberuntungan dan dijadikan simbol perantara kekayaan. Bagi peziarah pohon ini memberikan keberuntungan dalam hidup ini. Berdasarkan kepercayaan ini, maka para peziarah menunggu dahan, buah, atau daun yang jatuh. Begitu ada yang jatuh mereka berebutan untuk menyimpannya dan memanfaatkan sebagai zimat. Daun ini biasanya dibungkus dengan selembar uang kertas yang kemudian disimpan di dalam dompet.[10] Menurut penjelasan dari Bapak Nanang, ketua Yayasan Ngesti Gondo, bahwa ada cerita yang  menyebutkan bahwa tanaman ini adalah mukjizat dari tongkat Eyang Jugo yang ditancapkan, itu tidak benar. Ada mitos yang berkembang bahwa tanaman ini memberi keberuntungan. Hal ini berawal dari nasehat sesepuh di Pasarean yang mengatakan “kalau mau mendaptkan keberhasilan, maka harus sabar menunggu jatuhnya buah atau daun dari pohon Dewandaru” karena yang memberikan saran ini adalah orang yang menjadi panutan, maka saran ini ditafsirkan secara lurus.

II  SIAPAKAH EYANG JUGO DAN EYANG SUJONO?
Menurut historisitasnya, Mbah Jugo dan Mbah Sujo adalah bukan orang Tionghoa. Sekitar 175 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 26 Maret 1830, Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels diperintahkan Jenderal de Kock untuk menagkap Pangeran Diponegoro.[11] Ketika itu ada perundingan antara Pangeran Diponegoro dengan Kompeni Belanda yang didelegasikan oleh Jenderal de Kock. Hasil perundingan ini menegaskan untuk segera menangkap Pangeran Diponegoro. Dari Magelang Pangeran Diponegoro di bawa ke Batavia, ke Manado, dan akhirnya diasingkan ke Makasar dan wafat di kota itu pada tanggal 8 Januari 1855. Lalu bagaimanakah nasib para pengikutnya? Ada sebagian mengikutinya ke Makasar, tetapi sebagian tersebar di Jawa untuk menghindari diri dari penangkapan Kompeni Belanda. Di antara para pengikut ini adalah Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono. Keduanya melarikan diri ke Malang. Mbah Jugo mengembara sampai daerah Kesamben Blitar tepatnya di dusun Djoego, Desa Sanan, Kecamatan kesambe, Kabupaten Blitar.[12] Diperkirakan Mbah Jugo sampai di dusun Djoego pada tahun 1840. Ia ditemani oleh sesepuh Desa Sanan yang bernama Ki Tasiman.
 Setelah tinggal cukup lama di desa ini, sekitar tahun 1840-1850 datanglah muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama Raden Mas Imam Sujono. Akhirnya  tinggalah Mbah Sujono bersama Mbah Jugo dan membantunya dalam mengelola padepokan Djoego. Eyang Jugo tidak mempunyai istri. Ia mempunyai murid Mbah Sujono dan Ki Tasiman. Kanjeng kyai Zakaria II, yang lebih dikenal Mbah Jugo merupakan seorang ulama terkenal dari Keraton Surakarta. Kemudian Raden Mas Imam Sujono seorang bangsawan yang menjadi Senopati Panglima pangeran Diponegoro dari keraton Yogyakarta.[13]
Dikisahkan Eyang Jugo pernah ke daratan China. Suatu hari ia bertemu dengan seorang perempuan hamil yang kehilangan suaminya. Melihat hal ini Eyang jugo membantu ekonomi janda yang miskin ini. Sikap welas asih telah menjadi kebiasaan Eyang Jugo. Ketika Eyang Jugo hendak kembali ke Jawa ia berpesan kepada janda itu demikian; Jika anak ini sudah besar, suruhlah ia datang ke Gunung Kawi di Pulau Jawa. Anak ini bernama Tamyang. Pada tahun 40-an datangah Tamyang ke Gunung Kawi untuk melihat makam eyang Jugo. Kedatangannya ini dengan tujuan untuk membalas jasa Eyang Jugo yang telah berbuat baik kepada ibunya.
Semenjak itu keduanya tidak berjuang dengan mengangkat senjata, tetapi merubah perjuangan melalui pendidikan. Selain berdakwah kepada agama Islam dan mengajarkan ajaran moral kejawen, mereka juga mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, olah kanuragan serat keterampilan lainnya yang berguna bagi penduduk setempat.[14] Perbuatan dan karya mereka sangat dihargai oleh penduduk di daerah tersebut, sehingga banyak masyarakat dari daerah Kabupaten Malang dan Blitar datang ke Padepokan mereka untuk menjadi  pengikutnya. Untuk menghormati keduanya ini setiap tahun para keturunan, pengikut dan peziarah berkunjung ke makam mereka tepatnya setiap malam Jumat Legi, dan satu Suro. Di tempatnya ini biasanya diadakan perayaan tahlil akbar dan upacara ritual lainnya.

III ANALISA FILOSOFIS
Garis Besar Pandangan Mircea Eliade Tentang Mitos
Mircea Eliade lahir di Bukarest, Rumania, pada tanggal 9 Maret 1907. Ia adalah anak seorang kapten tentara[15]. Pada tahun 1927 ia ke Italia mengikuti kuliah-kuliah filsafat dari G. Gentile, seorang filsuf ide4al Italia. Pada tahun 1928 ia menulis disertasinya yang berjudul Filsafat Italia dari Ficino sampai Giordano Bruno untuk memperoleh gelar MA. Pada tahun 1928-1932 Eliade tinggal di India. Ia belajar bahasa Sansekerta dan filsafat pada Universitas Calcuta di bawah bimbingan professor Surendranath Dasgupta, seorang alih filsafat India[16]. Kemudian ia tinggal di biara Rishikesh didaerah Himalaya. Pada tahun 1940 ia diangkat menjadi atase kebudayaan pada kedutaan Rumania di London, tahun 1941 ia kembali ke Rumania, kemudian dipindahkan ke Lisabon dan kembali ke Bukarest pada tahun 1942[17]. Pada musim pendudukan Nazi Jerman tahun 1945 ia lari ke Paris dan mengajar sebagai dosen tamu  di Ecole Pratique des Hautes Etudes de Sorbonne. Karya–karyanya antara lain: Artikel The Enemy of The Silkworm, Ziarul Stiintelor Populare, How I Discover the Philosopher dan buku-bukunya Myth and Reality, The Myth of The Eternal Return or,cosmos and History,  Myth Dreams and Mysteries, The Sacred and profane, The Two and the One, The Quest History and Meaning in Religion[18]
 Dalam penelitiannya tentang manusia arkhais yang  merupakan tema sentral. Ia mencatat bahwa konfrontasi antara budaya kuno dan budaya kuno yang menjadi perdebatan sepanjang zaman. Pertemuan ini menciptakan suatu kebutuhan akan dialog yang hanya mungkin  terjadi bila suatu pengertian terhadap agama-agama arkhais[19] Pengenalan akan masyarakat-masyarakat kuno ini akan memperkaya kesadaran orang-orang modern akan kekayaan kebudayaan. Kebudayaan yang dikenal itu meliputi beberapa unsur misalnya mitos-mitos yang merupan sesuatu  yang sangat berpengaruh dalam hidup manusia.
 Eliade mengatakan mereka yang hidup dalam budaya yang kuno ini bukan disebut primitive tetapi lebih pada istilah arkhais atau preliterate. Istilah ini mau melukiskan suatu masyarakat yang mempunyai cirri-ciri primitif, arkhais, tradisional, pra-modern, eksotis, ahistoris dan pra-historis[20]. Kebudayaan tradisional ini tidak mengenal aktivitas profan. Alam ini tidak pernah bersifat natural secara murni, tetapi sekaligus natural dan supra-natural. Bersifat supra-natural karena alam merupakan kekuatan-kekuatan Yang Kudus dan figur realitas-realitas transendental. Model-model supra-natural dan ekstra-natural ini merupakan contoh-contoh bagi orang arkhais[21] Bagi orang arkhais, kehidupan merupakan sebuah sakramen, karena realitas yang paling utama adalah Yang Kudus. Dengan demikian, setiap manusia mempunyai kerinduan yang mendalam untuk tinggal dalam dunia semacam ini. Mereka berusaha untuk dekat dengan obyek-obyek yang dikuduskan untuk mencapai religious humanitas. Yang Kudus  merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius itu adalah pengalaman akan kratofani, hierofani dan teofani yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Yang kudus adalah yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber semua kehidupan dan energi[22] Masyarakat arkhais itu tidak mengenal irreligiusitas. Meskipun adanya jurang perbedaan yang sangat jauh tetapi ia tidak menyangkal adanya kesatuan. Adanya kesamaan-kesamaan di antara keduanya.
Mitos mempunyai peranan yang amat penting dalam kehidupan arkahis. Relasi mitos dan masyarakat arkahis sangat erat. Baginya, tidak mungkin membicarakan manusia religius arkhais tanpa membicarakan mitos, karena mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan.
Mitos mengungkapkan cara berada dunia ini. Mitos menjadi suatu kebenaran yang pasti dan menetapkan suatu kebenaran absolute yang tak bisa diganggu gugat[23]. Mitos itu berbicara tentang kenyataan, tentang apa yang pada realitasnya terjadi. Mitos itu menguak suatu tabir misteri. Setiap penciptaan menggambarkan suatu penjelmaan kekuatan kreatif ke dalam dunia, sebab setiap penciptaan merupakan suatu karya ilahi karena merupakan penjelmaan dari Yang kudus[24] Mitos mempunyai relasi yang erat dengan waktu dan ritus. Dengan melakukan ritus manusia dapat menghapus waktu profan dan melupakan kondisi manusiawinya yang tidak nyata.
Dalam ritus itu manusia mengungkapkan segala yang disukai oleh yang kudus, agar ia memperoleh keselamatan, kenyamanan hidup atau keberuntungan. Mitos itu bukan soal pemikiran intelektual atau logika rasionalitas, tetapi lebih merupakan orientasi spiritual atau kerohanian untuk berelasi dengan yang ilahi. Bagi masyarakat arkahais, mitos berarti suatu cerita yang benar dan cerita ini menjadi milik mereka yang paling berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna, menjadi contoh bagi tindakan manusia dan memberi makna dan nilai dalam kehidupan[25]. Mitos  juga membentuk suatu pola pengetahuan esotris yang mengandung kekuatan religius- magis. Pengetahuan itu bukan hal-hal yang abstrak, tetapi berkaitan erat dengan pengetahuan yang dialami secara ritual, baik melalui menceriterakan mitos secara seremonial maupun dengan melakukan ritus.

Membuka Selubung Mitos Pesugihan Gunung Kawi; Tradisi Ngalap Berkah
Di antara semua gejala kebudayaan yang paling sulit didekati dengan analisis logis adalah mitos. Ada pandangan bahwa, mitos adalah khaos dalam dunia ini karena tak terpahami oleh lapangan rasionalitas manusia. Bila  mitos dihubungkan dengan dunia religius tidak akan sejalan dan menjadi sebuah diskursus yang panjang dan tak berbatas.  Meskipun demikian, bagi Eliade hal ini sangat penting untuk penyelidikan manusia religius arkhais[26] Mitos merupakan realitas kultural yang kompleks dan arena itu sulit untuk membuat batasan-batasan yang defenitif terhadapnya[27] Mitos berbicara hanya apa yang disebutnya dengan kenyataan, tentang apa yang pada kenyataannya terjadi. Mitos mempunyai hubungan yang sangat erat dengan waktu dan ritus[28]  Dalam konteks ini kita mempertanyakan apa yang terjadi dengan tradisi ngalap berkah di Gunung Kawi. Apakah benar atau tidak? Kita pun tidak mengetahuinya. Tetapi yang perlu kita tahu bahwa kepercayaan akan kesakralan pasarean Gunung Kawi menyedot banyak perhatian masayarakat yang notabene telah beragama. Kepercayaan ini telah berkembang  menjadi satu mitos, sebuah klaim kebenaran yang sulit dilcak dalam perspektif rasional-posivistik[29]. Pasugihan Gunung Kawi merupakan sebuah mitos.
Mitos tidak dapat dijabarkan dalam beberapa unsur statis tertentu. Mitos harus dipahami lewat gairah batinnya, lewat mobilitas dan keanekaannya, lewat prinsip dinamisnya[30] Bila kita telusuri dari berbagai pengalaman orang yang pernah ke Gunung Kawi, pasti kita memperoleh konsep yang hampir sama dengan perpektif yang  bervariasi. Pengalaman akan apa yang dialami ini menjadi rujukkan dasar kita memahami apa itu mitos konteks pesugihan Gunung Kawi. Dari keterangan ini kita memperoleh dua model tampilan mitos. Di satu pihak, mitos menunjukkan struktur konseptual, di pihak lain mitos tergantung pada cara persepsi tertentu.
Pada tataran ini, mitos dipahami sebagai suatu keterangan atau penjelasan atas realitas dalam bentuk yang sederhana, sehingga dapat dimengerti oleh manusia dengan segala keterbatasannya. Mitos mempunyai  kekuatan  menyerap dunia dengan caranya tersendiri, sehingga ia mempunyai kekhasan dalam menafsirkan suatu pengalaman yang dialaminya. Mitos Gunung Kawi menyentuh perasaan manusia modern yang cenderung memikirkan tentang materi sebagai satu-satunya orientasi dan ukuran kesuksesan hidup manusia. Tetapi, tidak semua manusia mencapai kesuksesan ini. Maka banyak menempuh berbagai cara untuk memperoleh kesuksesan. Salah satunya di antaranya  adalah berziarah ke Gunung Kawi. Secara ekonomi, berziarah ke Gunung Kawi untuk memperoleh kekayaan merupakan  sesuatu yang tidak rasional. Bagi seorang filosof tidak hanya berhenti pada sesuatu yang sangat sederhana. Ia ditantang untuk mengembara, mencari, membongkar, membuka selubung mitos pesugihan Gunung Kawi dan memeluk suatu realitas kebenaran. Secara filosofi, berziarah ke Gunung Kawi untuk membina relasi dengan alam, Yang Kudus,  dimana manusia memperoleh kekuatan.
 Dalam konteks ini Eyang Jugo dan Sujono adalah representasi dari Yang Kudus seperti dalam mayarakat arkahis. Segala ritual yang dilakukan merupakan sebuah tindakan yang erat kaitan dengan  pengudusan waktu profan. Maka ada waktu khusus yang telah ditentukan yakni satu Suro dan Jumat Legi. Kedua hari ini adalah hari yang dikuduskan. Pada kesempatan ini para peziarah diantar untuk masuk dalam kebersatuan dengan yang ilahi. Kedua tokoh ini sebagai instrumen atau pengantara untuk mencapai realitas tertinggi (Yang Mahakuasa). Maka, sebelum melakukan ritual para peziarah harus memenuhi berbagai persyaratan termasuk persiapan hati dengan baik. Tujuannya  agar, melalui persiapan ini para peziarah bisa berjumpa dengan yang ilahi sebagai sumber ngalap berkah. Dengan melakukan  ritual pada pasarean Eyang Jugo dan Eyang Sujono para peziarah memperoleh kekuatan. Kekuatan bisa berupa kekayaan, keberuntungan, mendapat jodoh dan sebagainya. Bagi para peziarah mitos pesugihan Gunung Kawi ini merupakan suatu realitas kebenaran yang benar-benar terjadi. Hal ini dibuktikan dengan berbagi pengalaman memperoleh keberuntungan setelah berziarah ke tempat ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi membeludaknya peziarah ke tempat ini, karena dalam masing-masing agama tiak menyediakan sesuatu yang nyata dan menjanjikan. Apa yang ditawar oleh masing-masing agama dilihat sebagai utopia belaka. Menarik bahwa yang berziarah di tempat ini dari berbagai agama.
Dalam pandangan orang jawa fenomena ini memberi suatu keyakinan yang kuat bahwa adanya relasi yang takterpisahkan antara manusia, alam dan dunia gaib atau Yang Kudus. Relasi itu membentuk kebudayaan. Kebudayaan merupakan tanggapan manusia terhadap tantangan alam dan tanggapan masyarakat. Keseluruhan hidup orang Jawa itu erat kaitan dengan alam, maka tidaklah mengherankan setiap ada bencana alam atau malapetaka dianggap sebagai akibat murka alam karena manusia tidak menjaga keselarasan dengan alam. Keyakinan semacam ini merupakan tanggapan yang pada akhirnya mengalami perkembangan pada ranah yang lebih luas. Perkembangan itu diwujudnyatakan  dalam alam semesta. Alam semesta merupakan pantulan dari alam gaib dimana manusia menggantungkan atau mengikat dirinya dengan eksistensi realitas tertinggi. Pola pikir ini menuntut orang Jawa untuk mendisposisikan diri dan menjalankan perannya sesuai dengan peran yang telah ditakdirkan yakni tunduk akan sang pemberi takdir itu. Hal ini berarti dalam melakukan tindakan tidak boleh melampaui batas-batas yang telah digariskan.    
Dalam ajaran-ajaran filsafat Jawa mengenal konsep-konsep umum yakni; pertama, konsep pantheistik (kesatuan) yaitu manusia dan jagad raya yang merupakan percikan zat Ilahi. Dalam kebatinan Jawa dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Kedua, konsep tentang manusia yang terdiri dari dua segi, lahiriah dan batiniah. Segi lahiriah adalah badan wadhag dan segi batiniah dianggap sebagai yang mempunyai asal-usul dan tabiat Ilahi dan merupakan kenyataan yang sejati. Ketiga, konsep tentang perkembangan yakni perkembangan dan kemajuan sebenarnya merupakan usaha untuk memulihkan kesatuan  yang harmonis dan selaras. Keempat, konsep sikap hidup yaitu manusia mengambil jarak dengan dunia sekitar baik aspek material maupun spiritual, konsentrasi ditempuh dengan tanpa brata (mengekang hawa nafsu), dan representasi, upaya mencapai keselarasan, memayuhayunig-buwana[31] Keempat konsep ini diringkas dalam arti kebudayaan sebagai proses realisasi diri sekaligus interaksi manusia demi menjaga keselarasan dengan alam. Alam sekitar mendorong manusia untuk memperkembangkan daya budinya untuk mengungkapkannya sebagai wujud kedekatan manusia dengan alam. Salah satu cara pengungkapan itu terlihat dalam ritus pesugihan Gunung Kawi. Ritus merupakan karakteristik kebudayaan yang tidak bisa diabaikan oleh suatu budaya. Ritual itu berbasiskan simbolis, (bahasa, seni rupa, seni tari) dimana telah dimiliki bersama dan dipelajari serta diungkapkan secara bersama yang dipolesi dengan berbagi ketentuan. Ritus juga merupakan sarana bagi manusia religius untuk beralih dari waktu profan ke waktu kudus[32] Di dalam ritus, ia meniru tindakan kudus yang mengatasi kondisi manusiwi; ia ke luar dai waktu kronologis dan masuk ke dalam waktu awal-mula yang kudus. Ritus  itu menggiring orang untuk masuk ke dalam waktu kudus bertemu dengan realitas tertinggi.
 Fenomena pesugihan Gunung Kawi ini tidak sekadar rangkaian ritual, tetapi telah menjadi suatu kebudayaan ngalap berkat yang menyedot emosi publik.  Hal ini dibuktikan dengan begitu membeludaknya para peziarah ke gunung ini. Para peziarah yang datang ke tempat ini tidak hanya mencari ngalap berkah, tetapi juga  mereka membentuk suatu budaya baru dengan satu pandangan, ritual dan berada dalam lingkungan yang sama. Padangan baru itu disebut “selamat”  atau ingin  memperoleh keberuntungan.
Konsep selamatan bagi orang Jawa merupakan hal yang integral dan tak dapat dengan kepercayaan dan pandangan hidup. Bagi orang Jawa, diyakini bahwa kehidupan manusia selalu mengarah pada pembentukkan kesatuan numinous antara alam nyata, manusia dan alam adikodrati yang dianggap keramat sebagai satu kesatuan yang membentuk trilogi kepercayaan masyarakat Jawa[33] yakni bertumpu pada animisme dan dinamisme.
Animisme adalah sebuah doktrin keyakinan yang mempercayai realitas jiwa sebagai daya kekuatan yang luar biasa bersemayam secara mempribadi di dalam manusia,binatang, tumbuh-tumbuhan dan segala yang ada di jagad raya ini[34] Model kepercayaan ini menjadi cikal bakal munculnya tradisi penghormatan dan penyembahan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal dunia. Lebih dari pada itu tradisi ini,  dimodifikasi dengan memberi sesajian sebagai bentuk penghormatan yang menjadi ritual pada hari-hari tertentu. Adapun tujuan dari tradisi ini adalah agar dapat memberikan keselamatan bagi keturunannya yang masih hidup[35] atau memperoleh suatu kekuatan untuk dapat dipergunakan untuk menghindari bahaya.  Sedangkan dinamisme adalah suatu konsep kepercayaan yang beranggapan  bahwa benda-benda di alam ini mempunyai  kekuatan yang sakti dan keramat yang tidak mempribadi, meng-ada dalam pohon, hewan dan benda-benda lainnya.
 Dari dua konsep ini, orang Jawa menyadari bahwa kekuatan-kekutan yang adinatural ini memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia. Di satu pihak,  ritual itu  hanyalah suatu cara atau jalan untuk menghindari diri dari murka dari  kekuatan-kekuatan ini. Di pihak, lain ritual adalah jembatan untuk menghubungi manusia dengan kehendak Tuhan. Dalam konteks ini hendaknya dipahami dalam seluruh rangkaian ritual pesugihan Gunung Kawi. Selamatan yang dilakukan para peziarah di Gunung Kawi hanyalah memusatkan perhatian pada alam sakral,  agar dapat berdialog dengan Eyang jugo dan Eyang Sujono. Untuk itu,  dibutuhkan purifikasi diri atau metanoia.
Ingatlah bahwa, keyakinan semacam ini kemudian membentuk sugesti dalam diri para peziarah. Mereka dapat berdialog dengan Eyang Jugo dan Eyang Sujono. Tidak hanya itu, dari Eyang Jugo dan Eyang Sujono dapat memberikan  keberuntungan atau berkat. Bagi para peziarah Gunung Kawi menyimpan seribu satu mimpi yang tak tersigkapkan. Ada apa di balik semuanya ini? Ada pandangan bahwa, tradisi pesugihan Gunung Kawi adalah mitos. Tidak hanya sebatas mitos tradisi pesugihan Gunung Kawi, terutama ritual yang dilakuakan di pasarean berorientasi kepada kebersatuan dengan Manunggaling Kawula Gusti sebagai sumber ilahi. Eyang Jugo dan Eyang Sujono  sebagai sarana untuk mencapai Yang Kudus, asal dari segala sesuatu, sang Ada yang absolut. Konsep selamat yang dibungkus dengan selubung mitos yang menekankan ngalap berkah, kini terbuka menjadi suatu rasionalitas yakni mencapai kebersatuan dengan Manunggalaing Kawula Gusti. Tidak hanya ini, Perpektif inilah yang dapat dijelaskan kepada manusia religius.

IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
 Pesugihan Gunung Kawi diyakini oleh para peziarah bahwa dapat memberikan ngalap berkah (mendapat berkat) kekayaan atau keberuntungan di bidang bisnis, pertanian, jodoh dll. Gunung yang memberikan impian masa depan yang cerah dan diperoleh dengan cara yang instan. Mitos ini diyakini banyak orang, terutama mereka yang sudah merasakan “berkah”berziarah ke Gunung kawi terutama di passarean Gunung Kawi. Kebanyakan peziarah meminta untuk menjadi kaya, usahanya berhasil, bebas dari kebangkrutan dll. Pokoknya, masalah keuangan dalam sekejab mata dapat diatasi dengan mudah. Gunung Kawi menyimpan seribu satu mimpi. Konsep inilah yang menjadi dorongan orang berjubel ke Gunung Kawi. Siapa juga tidak tertarik dengan ritual yang menjanjikan ini. “Barangsiapa melakukan ritual di Gunung Kawi dengan rasa kepasrahan, kepercayaan dengan pengharapan yang tinggi maka permohonanya akan dikabulkan.  Di tempat ini para peziarah mengadakan ritual di pasarean Mbah Jugo dan Sujono. Bagi para peziarah kedua tokoh ini yang dapat dipercayai dalam urusn kesejahteraan. Agar  upacara permohonan kepada Mbah Jugo dan Sujono berjalan lancar dibutuhakn guru kunci sebagai pemandu ritualnya.
Mitos Gunung Kawi ini sulit dipecahkan, tetapi perlu diakui bahwa  di balik semuanya itu ada Realitas Tertinggi. Tidak hanya sebatas pada kedua tokoh ini (Mbah Jugo dan Sujono), tetapi mencapai kebersatuan dengan Manunggaling kawula Gusti. Yang ilahi inilah yang memberikan keselamatan bagi manusia. Konsep selamatan bagi orang Jawa merupakan hal yang integral dan tak dapat dengan kepercayaan dan pandangan hidup. Bagi orang Jawa, diyakini bahwa kehidupan manusia selalu mengarah pada pembentukkan kesatuan numinous antara alam nyata, manusia dan alam adikodrati yang dianggap keramat sebagai satu kesatuan yang membentuk trilogi kepercayaan masyarakat Jawa yakni bertumpu pada animisme dan dinamisme. Melalui Eyang Jugo dan Eyang Sujono para peziarah mencapai kebersatuan dengan realitas tertingi, Yang Maha Kudus, transenden. Pasugihan Gunung Kawi yang dipandang secara mitos, kini berahli menjadi sesuatu yang bisa dilogikakan. Artinya dari mitos menyeberang ke pengetahuan.
Untuk memperoleh berkat para peziarah harus melakuakan  ritus. Ritus ini tidak hanya sebagai sebuah tindakan biasa, tetapi lebih pada pengudusan waktu.untuk itu ditetapkan hari Jumat Legi dan Satu Muharam sebagai hari yang disakralkan. Peziarah yang paling banyak adalah orang Tionghoa dan orang Jawa.

4.2 Saran
Tradisi pesugihan Gunung kawi meninggalkan suatu pesan bahwa kita patut menghormati para leluhur. Pada mulanya, tradisi penghormatan ini sangat baik, tetpi dalam perjalanan orang mulai menjadikan sebagai tempat ngalap berkat.  Untuk memperoleh berkat, para peziarah harus memenuhi berbagai kriteria. Ada kecenderungan bahwa pesugihan Gunung kawi ini dalam praktiknya lebih kepada arah magis. Artinya, orang mulai perlahan-lahan meninggalkan keyakinan agamanya dan percaya akan kekutan yang ada. Fenomena ini adalah  sinkritisme agama. Di satu sisi memiliki keyakinan terhadap agama yang dianut, di sisi lain orang percaya akan sesuatu di luar apa yang telah imani, bahkan menjadi prioritasnya. Hendaknya, segala ritus diarahkan untuk  mencapai kebersatuan dengan yang maha Kudus yakni manunggaling kawula Gus.  Sementara itu perlu adanya pelestarian tempat pesugihan Gunung Kawi, karena termasuk obyek wisata yang ramai dikunjungi. Bagi orang Jawa Timur, Gunung Kawi merupakan tempat pesugihan. Tetapi bagi kalangan Kejawen, Gunung kawi lebih dilihat sebagai tempat pelestaraian budaya Jawa.

  

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara Suwardi:, Filsafat Hidup Jawa, Tangerang, cakrawala, 2003.
Nugroho Alois A. (terj.), Manusia dan Kebudayaan: Sebuah essei tentang Manusia,  Jakarta: Gramedia;1987
Wikipedia http//Mangablas. blogspot.com
Susanto. Hari P.S,  Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.
Wardoyo Prasto, dkk, Gunung Kawi: Fakta dan Mitos. Surabaya: LinguaKata, 2002.



[1] Setiyono wahyudi dkk, Malang Tempo Doeloe, Malang: Bayumedia publishing,  hlm .200 .
[2] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos. Linguakata,hlm.33
[3] Ibid. hlm.34.
[4]. Setiyono wahyudi dkk, Malang Tempo Doeloe, Malang: Bayumedia publishing,  hlm.200 .
[5] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos. Surabaya: Linguakata; 2002,  hlm, 51.
[6]Ibid.78.
[7] Wikipedia http//Mangablas. blogspot.com.       
[8] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos. Surabaya: Linguakata; 2002, hlm.42.

[9] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos. Surabaya:Linguakata; 2002, hlm.45.
[10] Ibid.hlm.48.
[11]  Setiyono wahyudi dkk, Malang Tempo Doeloe, Malang: Bayumedia publishing,  hlm.2001.
[12] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos.  Surabaya:Linguakata;2002,  hlm.63.
[13]Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi Fakta dan Mitos.  Surabaya:Linguakata; 2002 , hlm.62.
[14] Wikipedia http//Mangablas. blogspot.com
[15] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.14.
[16] Ibid. hlm.15
[17] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.14
[18] Ibid.hlm.16.
[19] Ibid.hlm.42.
[20] Ibid.hlm.43.
[21] Ibid.
[22] P.S. Hary Susanto Mitos Manurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987,.hlm.45.
[23] Ibid.hlm.72.
[24] Ibid.
[25] Ibid.hlm.91.
[26] Arkhais adalah suatu istilah yang digunakan oleh Eliade yang merujuk pada agama-agama yang paling kuno.
[27] P.S. Hari Susanto. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987, hlm.56.
[28]Ibid.hlm73.
[29] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi: Fakta dan Mitos. Surabaya: LinguaKata, 2002, hlm. 108.
[30] Alois A. Nugroho (terj.), Manusia dan Kebudayaan: Sebuah essei Tentang Manusia,  Jakarta: Gramedia;1987, hlm.115.
[31] Suwardi Endraswara:, Filsafat Hidup Jawa, Tangerang, cakrawala, 2003, hlm. 46-47.
[32] P.S. hari Susanto,  Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta : Kanisius; 1987.hlm.56.
[33] Prasto Wardoyo dkk, Gunung Kawi: Fakta dan Mitos. Surabaya: LinguaKata; 2002, hlm. 90.
[34] Ibid
[35] Ibid.hlm.92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar