Minggu, 02 Desember 2012

TANGGALKANLAH KASUTMU

Oleh: Angga Nofianto 


            Hidup kaya raya, terpandang, populer, punya banyak gelar, dan kekuasaan, di zaman sekarang ini seakan-akan menjadi impian setiap orang. Orang merasa dirinya “sukses” dan bangga apabila semuanya itu sudah terpenuhi. Bahkan, berbagai macam cara bisa ditempuh demi tercapainya kesuksesan tersebut. Melalui iklan-iklan dan acara-acara di televisi yang selalu mempertontonkan segi-segi kekayaan duniawi, menjadikan kebanyakan orang seakan-akan “terhipnotis” bahwa itulah tujuan hidup yang sesungguhnya.
            Namun, apabila kita melihat dari sudut pandang iman kristiani, tujuan dari kehidupan manusia yang sebenarnya bukanlah demikian. Harta, popularitas, dan kekuasaan adalah barang duniawi yang bersifat fana dan sementara. Semuanya, hanya pemuas keinginan daging yang bila dituruti tidak akan pernah ada habisnya. Kecenderungan untuk selalu memuaskan keinginan diri, secara sadar atau tidak hanya akan membentuk karakter manusia dalam suatu budaya yang kurang baik, seperti budaya konsumtif dan hedonis. Dalam hal ini, manusia kurang mengerti dan memahami dengan baik akan tujuan sejati dan mendasar dalam hidupnya, yaitu bersatu kembali dengan Sang Penciptanya. 


Belajar dari Musa
            Pada saat saya bersama dengan para frater CDD (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menjalani rekoleksi bulanan, di Domus Costantini, Malang. Saya terkesan dengan ayat dari Kitab Keluaran yang dijelaskan oleh Pastor Agustinus Lie, CDD yang  pada waktu itu sebagai pembimbing rekoleksi. Ayat tersebut mengisahkan tentang Musa ketika mendapat penampakan di Gunung Horeb (Lih. Kel 3:1-2). Pada waktu Musa hendak memeriksa kejelasan tentang penampakkan yang dilihatnya, Allah berfirman kepadanya, “. . . Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus” (Kel 3:5).
            Ayat ini sangat berkesan bagi saya karena menyimpan makna kerendahan hati di dalamnya. Musa dibesarkan dari latar belakang seorang pangeran, sudah barang tentu ia adalah seorang laki-laki yang berpendidikan, trampil membuat strategi perang, trampil bela diri, dan tentunya memiliki idealisme yang tinggi. Akan tetapi, melalui kesediaannya untuk menanggalkan kasut, Musa menunjukkan bahwa bagaimanapun latar belakang, kepribadiaan, maupun apa saja yang melekat pada dirinya, ia tetaplah seorang hamba Allah.
            Melalui simbol menanggalkan kasut, Musa menunjukkan bahwa ia tidak hanya menanggalkan kasut saja, melainkan juga bersedia menanggalkan segala sesuatu yang dimilikinya, yang diinginkannya, dan yang selama ini dipegangnya teguh (seperti harga diri). Musa bisa saja saat itu menolak dan kemudian pergi, tetapi ia tidak melakukan hal itu. Ia bersedia dan menerima apa yang difirmankan Allah kepadanya. Dengan kesediaannya untuk menaggalkan kasut, maka terjadilah perutusan (Kel 3). 

Buah Permenungan
           Dari sini saya belajar bahwa untuk menjadi murid-murid Kristus, saya harus bersedia “menanggalkan kasut.” Saya harus bersedia melepaskan kelekatan-kelekatan keduniawian yang bisa membuat saya semakin jauh dari Allah, atau bahkan menciptakan allah-allah lain di dalam hidup saya.
            Sebagai umat Allah, siapa pun orangnya seharusnya juga bersedia dan berani untuk “menanggalkan kasutnya.” Menanggalkan segala kelekatan-kelekatan yang berlebihan terhadap hal-hal duniawi. Sehingga, sebagai umat Allah bersama-sama kita menjadi “kosong.” Artinya, bahwa tidak ada lagi tempat untuk kita mengandalkan diri dan sombong terhadap pencapaian-pencapaian manusiawi. Dari semua itu, maka yang kita dapatkan adalah Tuhan. Kita tidak lagi mengenakan kelekatan-kelekatan duniawi sebagai benteng diri, melainkan mengenakan Kristus sendiri Sang Benteng Sejati. Seperti yang dikatakan oleh Rasul Paulus, bahwa melalui kelemahan-kelemahan kitalah kuasa Tuhan menjadi sempurna dan menaungi kita (bdk. 2Kor 12:9). Oleh karena itu, kesederhanaan dan kerendahan hati hendaklah dimiliki oleh setiap umat Allah. Dengan begitu, Roh Kudus akan bekerja atas diri kita dan kita akan mengetahui apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar