Oleh: Angga Nofianto
Hidup kaya raya, terpandang,
populer, punya banyak gelar, dan kekuasaan, di zaman sekarang ini seakan-akan
menjadi impian setiap orang. Orang merasa dirinya “sukses” dan bangga apabila
semuanya itu sudah terpenuhi. Bahkan, berbagai macam cara bisa ditempuh demi
tercapainya kesuksesan tersebut. Melalui iklan-iklan dan acara-acara di
televisi yang selalu mempertontonkan segi-segi kekayaan duniawi, menjadikan
kebanyakan orang seakan-akan “terhipnotis” bahwa itulah tujuan hidup yang
sesungguhnya.
Namun, apabila kita melihat dari
sudut pandang iman kristiani, tujuan dari kehidupan manusia yang sebenarnya
bukanlah demikian. Harta, popularitas, dan kekuasaan adalah barang duniawi yang
bersifat fana dan sementara. Semuanya, hanya pemuas keinginan daging yang bila
dituruti tidak akan pernah ada habisnya. Kecenderungan untuk selalu memuaskan
keinginan diri, secara sadar atau tidak hanya akan membentuk karakter manusia dalam
suatu budaya yang kurang baik, seperti budaya konsumtif dan hedonis. Dalam hal
ini, manusia kurang mengerti dan memahami dengan baik akan tujuan sejati dan
mendasar dalam hidupnya, yaitu bersatu kembali dengan Sang Penciptanya.
Belajar dari Musa
Belajar dari Musa
Pada saat saya bersama dengan para
frater CDD (Kongregasi Murid-murid Tuhan) menjalani rekoleksi bulanan, di Domus
Costantini, Malang. Saya terkesan dengan ayat dari Kitab Keluaran yang
dijelaskan oleh Pastor Agustinus Lie, CDD yang
pada waktu itu sebagai pembimbing rekoleksi. Ayat tersebut mengisahkan tentang
Musa ketika mendapat penampakan di Gunung Horeb (Lih. Kel 3:1-2). Pada waktu
Musa hendak memeriksa kejelasan tentang penampakkan yang dilihatnya, Allah
berfirman kepadanya, “. . . Tanggalkanlah
kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah
yang kudus” (Kel 3:5).
Ayat ini sangat berkesan bagi saya
karena menyimpan makna kerendahan hati di dalamnya. Musa dibesarkan dari latar
belakang seorang pangeran, sudah barang tentu ia adalah seorang laki-laki yang
berpendidikan, trampil membuat strategi perang, trampil bela diri, dan tentunya
memiliki idealisme yang tinggi. Akan tetapi, melalui kesediaannya untuk menanggalkan
kasut, Musa menunjukkan bahwa bagaimanapun latar belakang, kepribadiaan, maupun
apa saja yang melekat pada dirinya, ia tetaplah seorang hamba Allah.
Melalui simbol menanggalkan kasut,
Musa menunjukkan bahwa ia tidak hanya menanggalkan kasut saja, melainkan juga
bersedia menanggalkan segala sesuatu yang dimilikinya, yang diinginkannya, dan
yang selama ini dipegangnya teguh (seperti harga diri). Musa bisa saja saat itu
menolak dan kemudian pergi, tetapi ia tidak melakukan hal itu. Ia bersedia dan
menerima apa yang difirmankan Allah kepadanya. Dengan kesediaannya untuk
menaggalkan kasut, maka terjadilah perutusan (Kel 3).
Buah Permenungan
Buah Permenungan
Dari sini saya belajar bahwa untuk
menjadi murid-murid Kristus, saya harus bersedia “menanggalkan kasut.” Saya
harus bersedia melepaskan kelekatan-kelekatan keduniawian yang bisa membuat
saya semakin jauh dari Allah, atau bahkan menciptakan allah-allah lain di dalam
hidup saya.
Sebagai umat Allah, siapa pun
orangnya seharusnya juga bersedia dan berani untuk “menanggalkan kasutnya.”
Menanggalkan segala kelekatan-kelekatan yang berlebihan terhadap hal-hal
duniawi. Sehingga, sebagai umat Allah bersama-sama kita menjadi “kosong.” Artinya,
bahwa tidak ada lagi tempat untuk kita mengandalkan diri dan sombong terhadap
pencapaian-pencapaian manusiawi. Dari semua itu, maka yang kita dapatkan adalah
Tuhan. Kita tidak lagi mengenakan kelekatan-kelekatan duniawi sebagai benteng
diri, melainkan mengenakan Kristus sendiri Sang Benteng Sejati. Seperti yang
dikatakan oleh Rasul Paulus, bahwa melalui kelemahan-kelemahan kitalah kuasa
Tuhan menjadi sempurna dan menaungi kita (bdk. 2Kor 12:9). Oleh karena itu,
kesederhanaan dan kerendahan hati hendaklah dimiliki oleh setiap umat Allah. Dengan
begitu, Roh Kudus akan bekerja atas diri kita dan kita akan mengetahui apa yang
baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar