Jumat, 12 April 2013

RELASI RASIONAL ANTARA PENCIPTA DAN CIPTAAN

(Belajar Kosmologi bersama Thomas Aquinas)

Oleh: Angga Nofianto
Thomas Aquinas (mises.org)

I. Pengantar

            Alam semesta merupakan suatu tema pemikiran filosofis yang tiada hentinya. Dikatakan demikian karena sejak masa Yunani kuno hingga dewasa ini tema tersebut masih saja hangat untuk diperbincangkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kita ada dan hidup di dalam alam semesta, maka suatu hal yang bijak bila kita mengenal secara mendalam tempat di mana kita bereksistensi. Di samping itu, alam semesta penting untuk dibicarakan karena sebagai sesuatu hal yang besar alam ini menyimpan bayak sekali misteri. Misteri-misteri yang ada ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai penciptanya. Eksistensi dari Tuhan dan kaitan atau hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya inilah yang akhirnya melahirkan pemikir-pemikir besar abad pertengahan dan patristik. Sebagai contoh seperti Johannes Scotus Eriugena (810-877), Anselmus dari Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Bonaventura (1221-1274), Albertus Agung (1205-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
            Berangkat dari hal tersebut, maka muncullah pertanyaan mendasar mengenai bagaimana eksistensi dari Tuhan itu dapat dijelaskan secara rasional dan di mana letak hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya? Untuk menjawab hal tersebut maka melalui sudut pandang pemikiran Thomas Aquinas, kita bersama-sama akan belajar dan mendalami tentang kosmologinya.
           

II. Selayang Pandang Thomas dari Aquino (1225-1274)

            Thomas dari Aquino atau Thomas Aquinas dilahirkan di Rocca Sicca dekat Napoli, Italia. Ia berasal dari keluarga bangsawan Aquinas (Aquino). Ibunya masih mempunyai hubungan keluarga dengan Kaisar Frederik II yang pada waktu itu berkuasa. Pada usia lima tahun (1230), ia diserahkan oleh orang tuanya ke Biara Benediktin di Monte Cassino yang akhirnya dibubarkan karena para rahibnya diusir oleh Frederik II (1239). Di sanalah ia menjalani pendidikan awal. Menjelang usia 20 tahun ia bergabung dengan Ordo Dominikan dan menjadi murid Albertus Magnus di Paris dan Köln. Dapat diperkirakan bahwa upaya Albertus untuk memanfaatkan filsafat Aristoteles dalam berteologi memberikan pengaruh awal bagi arah dan gaya berpikir Aquinas.[1] Setelah studinya selesai, ia mulai mengajar teologi di Paris (1252-1259). Kemudian ia pergi dan kembali lagi ke Paris untuk memangku jabatan professor teologi di universitas (1269-1272). Selain itu ia juga mengajar di berbagai tempat di Italia. Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (7 Maret 1274). Banyak ahli sejarah filsafat sepakat dalam mengatakan bahwa filsafat abad pertengahan memuncak pada Aquinas.[2]
            Sebagai seorang profesor muda, ia mewariskan kepada kita sejumlah besar karya tulis dalam bidang teologi dan filsafat. Tulisan-tulisannya membuktikan bahwa ia bukan sekedar seorang filsuf dan teolog tetapi juga seorang mistikus. Dalam arti bahwa apa yang ditulisnya merupakan kebenaran-kebenaran yang diyakini dengan iman yang kokoh dan dalam kesatuan mistik dengan Tuhan.[3] Dalam edisi modern, semua karyanya itu dikumpulkan dalam 34 jilid. Karya-karyanya antara lain: komentar atas buku “Sententiae” karangan Lombardus, “Summa Contra Gentiles” (Ikhtisar melawan orang-orang kafir), dan karyanya yang utama adalah “Summa Theologiae I-III” (Ikhtisar Theologi I-III). Karya-karya Aquinas termasuk sebagai karangan-karangan terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani.[4]


III. Menyelami Kosmologi Thomas Aquinas
           
            Thomas Aquinas sebagai seorang ahli teologi dan filsafat dalam karya-karyanya yang kebanyakan bersifat teologis terdapat suatu sintesis filosofis yang mencolok.[5] Secara orisinil ia mendasarkan pemikirannya pada karya-karya berbagai macam filsuf diantaranya seperti Plato dan Aristoteles, yang kemudian ia “ramu” secara khusus dengan pemikirannya serta memadukannya dengan pemikiran para pendahulunya seperti (salah satunya) Agustinus, sehingga menghasilkan suatu sintesis yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini, kita akan membicarakan filsafat kosmologinya yang berkisar pada kosep Pencipta dan ciptaan.

3.1 Penciptaan

            Dalam ajarannya tentang penciptaan Aquinas memberikan penjelasan yang berkisar pada konsep partisipasi atau hal mengambil bagian. Gagasan tersebut berasal dari Plato serta Agustinus dan mengambil peranan sentral dalam seluruh metafisikanya.

Pendiriannya ialah bahwa segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah. Itu berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan menurut adanya tergantung pada Allah. Ia mempertahankan pula bahwa Allah sama sekali bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Allah bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti yang dipikirkan filsuf-filsuf neoplatonis dalam ajaranya tentang “emanasi.” Allah menjadikan ciptaan-ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo).[6]

                Dari penjelasan tersebut Aqunias ingin menekankan dua hal:

[1] Dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar. Ciptaan-ciptaan menurut adanya tergantung pada Allah, bukan menurut salah satu aspek saja. [2] Penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja. Tidak boleh dibayangkan bahwa dunia pada satu saat tertentu diciptakan Tuhan dan kemudian sudah tidak lagi tergantung pada-Nya. Pada tiap-tipa saat ciptaan-ciptaan tergantung pada Allah. Jadi, harus dikatakan bahwa penciptaan tetap berlangsung terus.[7]

                Oleh karena itu, hal yang salah bila kita beranggapan bahwa Allah menciptakan dunia dan kemudian Ia sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Bagi Aquinas Allah tetap ada dan penciptaan merupakan suatu hal yang terus terjadi dan tiada hentinya. Aquinas berpikir bahwa atas dasar filsafat belaka tidak dapat dibuktikan bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan terdapat kemungkinan bahwa dunia diciptakan dari kekal. Tetapi atas kesaksian Alkitab kita dapat mengetahui bahwa dunia mempunyai permulaan dalam waktu.[8] Bertolak dari gagasan tersebut, maka Aquinas dengan kecermelangannya menjelaskan bukti dari eksistensi Tuhan. 



3.2 Bukti dari Eksistensi Tuhan[9]

            Dalam menunjukkan eksistensi Tuhan, Aquinas menyajikan gagasannya dengan pertama-tama berangkat dari analisis dunia indrawi. Dari situ ia kemudian beranjak ke pengertian bahwa eksistensi objek-objek itu terikat dalam suatu rangkaian dari penyebab-penyebab yang berujung pada suatu penyebab pertama yang disebut Tuhan. Aquinas dalam Summa Theologiae menyodorkan lima bukti tentang eksistensi Tuhan yang terkenal sebagai “lima jalan” (quinque viae) (ST. I, q. 2, a. 3).

3.2.1 Jalan Pertama: Bukti Berdasarkan Gerak

         Di dalam dunia ini banyak hal selalu berada dalam gerak. Sesuatu dapat bergerak sudah barang tentu digerakan oleh sesuatu yang lain. Jika sesuatu dalam keadaan diam maka ia dapat dikatakan berada dalam gerak secera potensial. Gerak terjadi bila sesuatu secara potensial berada dalam keadaan gerak, digerakan sehingga secara aktual bergerak. Jadi, gerak merupakan suatu perubahan (transformasi) dari sesuatu yang bersifat potensial menuju aktual, dan sesuatu yang aktual ini dapat bergerak karena digerakan oleh sesuatu yang aktual lainnya. Dengan kata lain suatu objek hanya akan bergerak jika digerakan oleh sesuatu yang lain yang secara aktual bergerak. Sebagai contoh, bayangkan ada sederet kartu domino yang disusun secara berdiri, satu dibelakang yang lain. Dalam keadaannya yang diam kartu domino tersebut dapat dikatakan bergerak secara potensial. Kartu-kartu domino tersebut hanya akan bergerak secara aktual jika ditindih oleh kartu yang lain di belakangnya.
         Atas dasar itu, Aquinas mengambil kesimpulan umum bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat ditransformasi dari keadaan potensial ke keadaan aktual oleh sesuatu yang sendiri hanya berada dalam keadaan potensial. Potensialitas berarti absensi dari sesuatu, karena itu tidak lain dari ketiadaan. Berarti ketiadaan gerak tidak dapat menghasilkan gerak. Maka bagi Aquinas tidak ada sesuatu pun yang dapat mengalihkan potensialitas menjadi aktualitas, kecuali sesuatu yang sendirinya merupakan aktualitas. Bayangkan bila ada suatu rangkaian seri bahwa A digerakan oleh B, dan B oleh C, dan seterusnya, maka kita harus tiba pada suatu titik batas di mana ada suatu penggerak yang dapat menggerakan semua hal yang lain, tanpa ia sendiri digerakan. Inilah yang dinamakan “penggerak-yang-tak-digerakan” atau Penggerak Pertama. Menurut Aquinas semua orang mengerti bahwa “penggerak-yang-tak-digerakan” tersebut sebagai Tuhan. Gerak yang dimaksud oleh Aquinas di sini perlu dimengerti sebagai gerak dalam arti seluas-luasnya yang meliputi semua tata dunia ciptaan.

3.2.2 Jalan Kedua: Bukti Berdasarkan Penyebab Efisien

         Dari berbagai kasus kita melihat bahwa terdapat berbagai jenis akibat yang menunjukkan suatu penyebab efisien bagi setiap efek. Sebagai contoh penyebab efisien dari sebuah lukisan adalah pekerjaan si pelukis. Orang tua dari si pelukis adalah penyebab efisien dari si pelukis sendiri. Si pengerajin kanvas adalah penyebab efisien dari kanvas yang digunakan oleh si pelukis. Jadi ada suatu rangkaian rumit dari banyak penyebab efisien yang dapat dijejaki kembali melalui suatu seri panjang. Hal ini mau menegaskan bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang dapat menyebabkan dirinya sendiri.
         Berlandaskan pada gagasan tersebut, maka kita dapat mengatakan suatu penyebab selalu mendahului efeknya. Berarti, tidak ada sesuatu pun yang dapat mendahului dirinya sendiri. Karena itu, setiap peristiwa menuntut adanya penyebab yang mendahuluinya. Namun, penyebab yang mendahuluinya pun didahului oleh penyebab yang lain. Maka, Aquinas menegaskan semua penyebab dalam seri itu tergantung pada penyebab efisien yang pertama yang telah memungkinkan semua penyebab efisien aktual sebagai penyebab bagi efek masing-masing. Penyebab Efisien Pertama itu setiap orang mengenal dan menyebut-Nya sebagai Tuhan.

3.2.3 Jalan Ketiga: Bukti Berdasarkan Kontijensi dan Nesesitas 

         Di dalam alam semesta kita tahu bahwa sesuatu dapat ada dan dapat juga tidak ada. Hal seperti itu disebut kontinjen (relatif) dalam arti tidak harus selalu ada. Sebagai contoh, ada saatnya ketika sebatang pohon belum ada, tetapi kemudian ada (tumbuh) dan kelak lenyap. Hal ini ingin mengatakan bahwa sesuatu adalah kontinjen harus pula berarti ganda: dapat ada dan dapat tidak ada. Segala sesuatu yang bersifat kontijen memiliki karakteristik sama, yaitu dapat tidak ada, bukan saja sesudah, melainkan yang lebih penting ialah sebelum eksistensinya.
         Segala sesuatu dapat pernah tidak ada, dan pada waktu tertentu ada, dan akhirnya akan lenyap dari eksistensi riilnya. Sekali sesuatu mempunyai eksistensi, ia dapat menyebabkan sesuatu yang lain yang segenus. Misalnya, manusia melahirkan anak. Pada titik ini, Aquinas mengemukakan bahwa segala sesuatu yang ada tidak mendapat eksistensi dari dirinya sendiri dan tidak pula dari esensinya. Jika segala sesuatu dalam realitas bersifat kontijen, maka pada saat tertentu pernah tidak ada satupun hal yang memiliki eksistensi. Jika demikian maka sekarangpun tidak ada sesuatu yang ada. Aquinas menyimpulkan bahwa pasti ada sesuatu yang memiliki eksistensi yang bersifat niscaya; eksistensi merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, sesuatu itu harus mempunyai eksistensi dari dirinya sendiri yang mutlak dan dapat menyebabkan segala sesuatu yang lain memiliki eksistensi. Sesuatu itulah yang semua orang menyebut-Nya Tuhan.

3.2.4 Jalan Keempat: Bukti Berdasarkan Derajat Kesempurnaan
       
         Dalam realitas kehidupan sering kita mendengar ungkapan “kurang baik” dan yang lain lagi disebut “lebih baik.” Gaya ungkapan seperti ini hanya mungkin bila pada hal-hal tertentu menunjuk kepada suatu keadaan maksimum. Hal ini biasanya terjadi bila kita ingin membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain, misalnya manusia dengan hewan. Dengan arti lain, ingin dikatakan bahwa terdapat tingkatan-tingkatan kesempurnaan, sehingga pada setiap genus ada hal yang memenuhi keadaan maksimum.
         Di sini, Aquinas berpikir bahwa pasti ada juga realitas yang paling sempurna, melebihi semua kesempurnaan dari semua genus. Prinsipnya berbunyi, “Apabila sejumlah hal memiliki sesuatu sebagai karakter umum, maka semestinya yang memilikinya secara paling sempurna menyebabkan yang lain memilikinya.”  Jadi, api adalah panas maksimum generik bagi semua hal yang panas. Mengatasi semua kesempurnaan generik, terdapat kesempurnaan maksimum yang menjadi sumber dari segala kebaikan dan setiap kesempurnaan, dan itulah yang disebut Tuhan. 

3.2.5 Jalan Kelima: Bukti Berdasarkan Ketertiban Alam Semesta

         Kita mengalami bahwa segala sesuatu yang menjadi bagian dari alam semesta atau bagian dari tubuh manusia, yang tidak memiliki inteligensi, ada dan beraktivitas sesuai dengan ketertiban tertentu untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu. Ini berarti, benda-benda ada tidak secara kebetulan, melaikan karena ketertiban yang direncanakan. Selain dari pada itu, organ-organ yang tidak memiliki inteligensi, hanya akan berfungsi jika digerakan atau diarahkan oleh sesuatu yang memiliki inteligensi; bagaikan pacul yang perlu digerakan oleh tangan petani yang hendak memacul. Aquinas menyimpulkan bahwa mesti terdapat suatu eksisten inteligen yang olehnya segala sesuatu yang alamiah diarahkan secara tertib menuju tujuannya. Sesuatu yang alamiah di sini perlu dimengerti sebagai ketertiban alam semesta. Dari situlah diperoleh pemahaman bahwa Eksistensi yang dimaksud itulah yang disebut Tuhan. 

3.3 Hubungan antara Pencipta dan Ciptaan[10]

            Pencipta dan ciptaan adalah dua hal yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan antara keduanya dapat dilihat baik dari sudut eksistensi maupun esensinya. Aquinas memberikan secara kontras perbedaan antara keduanya sebagai berikut.

Semua ciptaan merupakan substansi-susunan yang esensinya berbeda dari eksistensi, sedangkan pada Tuhan esensi dan eksistensi identik. Selain itu, esensi ciptaan digambarkan sebagai potensialitas dan dihadapkan pada eksistensi yang sebanding dengan aktualitas. Sementara Tuhan adalah aktualitas murni, tanpa potensialitas apapun. Selanjutnya, sementara eksistensi dari semua ciptaan merupakan partisipasi terbatas pada esse masing-masing menurut esensinya, Tuhan hanya mengada tanpa berpartisipasi pada sesuatu yang lain. Kosekuensinya, mahluk ciptaan dicirikhaskan oleh dependensi eksistensial terhadap Tuhan, sedangkan Tuhan sama sekali independen.[11] 

                Berangkat dari perbedaan tersebut maka hubungan antara Tuhan dan mahluk ciptaan dapat dijelaskan dengan cara demikian.

3.3.1 Partisipasi: Kausalitas dan Subjektivitas

         Pandangan ini terinspirasi dari Plato, yang kemudian Aquinas kembangkan dalam konteks metafisika esse. Menurutnya, segala sesuatu bereksistensi, mengada secara partisipatif, dalam arti eksistensinya bersifat partikular dan merupaka partisipasi saja pada Pengada yang memiliki eksistensi paling sempurna, yaitu Tuhan (ST. I, q. 44, a. 1). Perlu dimengerti bahwa partisipasi di sini berlangsung menurut esensi masing-masing ciptaan. Jadi, masing-masing ciptaan berperan sebagai pengada yang berpartisipasi dalam kesempurnaan mengada menurut potensialitasnya sebagai penerima eksistensi. Di sinilah tingkat partisipasi menyatakan derajat kesempurnaan dalam tata alam semesta. Akan tetapi, hanya eksistensi Tuhan yang paling sempurna, tidak terbatas, dan murni (ST. I, q. 75, a. 5, ad. 4). Dengan kata lain, eksistensi dari semua ciptaan disebabkan dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta.
         Selanjutnya, Aquinas menambahkan bahwa dalam setiap spesies terdapat individualitas yang berarti terdapat perbedaan-perbedaan dari sesamanya yang satu spesies. Perbedaan tersebut kemudian diterangkan oleh Aquinas dalam dua bentuk limitasi; Pertama, limitasi terjadi melalui esensi yang membatasi cara bereksistensi. Kedua, limitasi terjadi melalui materi dalam proses individuasi. Sebagai contoh, Soekarno dan Soeharto sama-sama berada di bawah spesies manusia karena dibatasi oleh esensi yang sama. Akan tetapi, karena kuantitas materinya berbeda, maka meskipun esensinya sama, terjadi proses individuasi yang membedakan Soekarno dari Soeharto. Oleh karena itu, menurut Aquinas, partisipasi pengada-pengada pada eksistensi Tuhan yang sempurna tidak bercorak univocal.  
         Walau demikian, pada hakikatnya Aquinas menyatakan bahwa ada kedekatan yang intensif antara Tuhan dan segala ciptaan-NYa. Melalui ketergantungan ciptaan terhadap Penciptanya, secara tersirat menerangkan suatu susunan hierarkis alam ciptaan. Itulah yang akhirnya membentuk subjektivitas relasi antara Pencipta dan ciptaan-Nya, yang boleh dibaca sebagai cerminan kehadiaran Tuhan sebagai Pencipta. Dalam arti itu, eksistensi ciptaan merupakan pintu masuk kepada perjumpaan dengan Sang Pencipta.  

3.3.2 Dependensi dan Analogi

         Dependensi menurut Aquinas secara umum mengartikan bahwa eksistensi ciptaan menyatu dengan sumbernya, atau eksistensi ciptaan yang terbatas tunduk secara radikal terhadap eksistensi Tuhan yang sempurna. Dependensi ciptaan pada Tuhan bersifat menyeluruh, karena ketergantungan itu meliputi segala sesuatu yang ada. Hal itu juga berarti bahwa sejauh sesuatu bereksistensi, atas salah satu cara, Tuhan hadir padanya. Aquinas berkata, “Aktus mengada merupakan hal yang secara paling mendalam hadir dalam segala ciptaan dan secara paling fundamental menyatu pada apapun juga.” Akan tetapi, oleh karena Tuhan merupakan aktus mengada yang paling sempurna dan asali, maka Aquinas menyimpulkan bahwa  “Tuhan hadir dalam segala sesuatu secara paling mendalam” (ST. I, q. 8, a. 1). Dengan demikian, hal tersebut hendak menyatakan kehadiran Tuhan secara akrab dan riil dalam setiap ciptaan.
         Melalui analogi, Aquinas ingin mengatakan bahwa tata dunia ilahi berbeda dengan tata dunia ciptaan. Perbedaan itu tidak hanya menentukan cara berbicara kita tentang ciptaan dalam hubungannya dengan Tuhan, yaitu bahwa kita hanya bisa berbicara dengan menggunakan analogi, melainkan juga menjelaskan jenis hubungan antara Tuhan dan alam ciptaan. Sebagai contoh, kita tidak bisa menyamakan makna setia, antara “anjing yang setia” dengan “Tuhan yang setia.” Meskipun mempunyai arti yang sama, tetapi di dalamnya tersimpan sebuah makna yang sangat berbeda. Dengan demikian menurut Aquinas, cara paling tepat untuk berbicara mengenai Tuhan dari sudut pandang manusia adalah dengan menggunakan analogi. Analogi mengartikan cara berbicara yang menggunakan suatu kata yang memiliki banyak arti, tetapi menyatakan secara gamblang adanya berbagai proporsi dari hal yang sama.

Aquinas menulis, “Tuhan sama sekali berbeda di luar tata dunia ciptaan, dan semua mahluk tunduk kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Ciptaan-ciptaan benar-benar tergantung (really related) pada Tuhan, sedangkan pada Tuhan tidak ada relasi kodrati (no real relation) kepada mahluk ciptaan. Relasi Tuhan kepada ciptaan hanya merupakan suatu relasi logis (relation rationis), yakni relasi yang dapat dimengerti atau yang masuk akal sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa seluruh ciptaan selalu terarah kepada Tuhan sebagai Pencipta” (ST. I, q. 13, a.7).[12]


IV. Kesimpulan dan Relevansi Kosmologi Thomas Aquinas

            Secara garis besar kosmologi Thomas Aquinas ingin menekankan bahwa penciptaan itu senantiasa terjadi secara berkesinambungan dan tanpa henti. Dalam prosesnya, Tuhan tidak serta merta berhenti setelah melakukan penciptaan, melainkan Dia senantiasa ada dalam rangkaian perjalanan penciptaan tersebut. Keberadaan (eksistensi) Tuhan inilah yang kemudian oleh Aquinas dibuktikan secara rasional melalui “lima jalan” (quinque viae), yaitu bukti berdasarkan gerak, bukti berdasarkan penyebab efisien, bukti berdasarkan kontijensi dan nesesitas, bukti berdasarkan derajat kesempurnaan, dan bukti berdasarkan ketertiban alam semesta. Melalui pembuktian-pembuktian itulah yang kemudian menjadi gagasan dasar untuk melihat letak di mana hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Sehingga, terbentuklah gambaran hierarki tata ciptaan di mana Tuhan terletak di puncak tertinggi yang menyebabkan seluruh ciptaan memeroleh eksistensinya. Akan tetapi, Tuhan sama sekali berbeda di luar tata dunia ciptaan, dan semua mahluk benar-benar tergantung pada Tuhan.
            Dari penjelasan tersebut bila melihat situasi dewasa ini, di mana rasionalitas memegang kendali, kerap kita dibawa ke dalam situasi kebimbangan akan eksistensi Tuhan. Kita menjadi tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan menganggap bahwa kehidupan itu sepenuhnya berada di tangan kita. Akibat negatifnya, terjadi degradasi moral di sebagian manusia yang memicu semakin progresnya kriminalitas. Kita menjadi seakan-akan benar-benar bebas terhadap apa saja yang ingin kita lakukan. Kita memposisikan diri menduduki tempat tertinggi di alam semesta ini, sehingga bisa melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap apa yang telah disediakan oleh alam. Hedonisme, kosumerisme, dan materialisme menjadi sosok yang menggantikan kedudukan Tuhan, yang dampaknya menyuburkan egoisme tiap-tiap individu.
            Oleh karena itu, penting untuk kita, tanpa terkecuali yang hidup di zaman sekarang, untuk memelajari kosmologi Thomas Aquinas ini. Kita akan menginsafi bahwa eksistensi Tuhan bukanlah imajinasi belaka melaikan sesuatu yang rasional. Kita akan memeroleh pengetahuan dan pemahaman, yang benar-benar dapat membantu kita memposisikan diri di dalam alam semesta ini. Akal budi kita akan terbuka dan tahu bahwa kita sepenuhnya benar-benar tergantung kepada Tuhan. Sehingga, kita benar-benar bisa menjadi pribadi-pribadi yang  tahu bagaimana hidup itu harus dijalani.





Daftar Pustaka

Bertens, K., Prof. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: KANISIUS, 2011.

Ohoitimur, Johanis, Dr., MSC. METAFISIKA SEBAGAI HERMENEUTIKA Cara Baru Memahami Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead. Jakarta: OBOR, 2006.

Sutrisno, F. X. Mudji dan F. Budi Hardiman (eds.). Para Filsuf Penentu Gerakan Zaman. Yogyakarta: KANISIUS, 1992.




[1] Bdk. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC, METAFISIKA SEBAGAI HERMENEUTIKA Cara Baru Memahami Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead, Jakarta: OBOR, 2006, hlm. 6-7.
[2] Bdk. Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: KANISIUS, 2011, hlm. 35-36.
[3] Bdk. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC, Op. Cit., hlm. 8.
[4] Bdk. F. X. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (eds.), Para Filsuf Penentu Gerakan Zaman, Yogyakarta: KANISIUS, 1992, hlm. 39-40.
[5] Ibid., hlm. 41.
[6] Bdk. Prof. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 36.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 36-37.
[9] Pada bagian ini disadur dari Dr. Johanis Ohoitimur, MSC, Op. Cit., hlm. 83-90.
[10] Ibid., hlm. 90-98.
[11] Ibid., hlm. 90.
[12] Ibid., hlm. 97-98.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar