(Belajar Kosmologi bersama Thomas Aquinas)
Oleh: Angga Nofianto
Thomas Aquinas (mises.org) |
I.
Pengantar
Alam semesta
merupakan suatu tema pemikiran filosofis yang tiada hentinya. Dikatakan
demikian karena sejak masa Yunani kuno hingga dewasa ini tema tersebut masih
saja hangat untuk diperbincangkan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kita ada
dan hidup di dalam alam semesta, maka suatu hal yang bijak bila kita mengenal
secara mendalam tempat di mana kita bereksistensi. Di samping itu, alam semesta
penting untuk dibicarakan karena sebagai sesuatu hal yang besar alam ini
menyimpan bayak sekali misteri. Misteri-misteri yang ada ini tidak bisa
dilepaskan begitu saja dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai penciptanya.
Eksistensi dari Tuhan dan kaitan atau hubungan antara Tuhan dan ciptaan-Nya
inilah yang akhirnya melahirkan pemikir-pemikir besar abad pertengahan dan patristik.
Sebagai contoh seperti Johannes Scotus Eriugena (810-877), Anselmus dari
Canterbury (1033-1109), Petrus Abelardus (1079-1142), Bonaventura (1221-1274),
Albertus Agung (1205-1280), dan Thomas Aquinas (1225-1274).
Berangkat
dari hal tersebut, maka muncullah pertanyaan mendasar mengenai bagaimana
eksistensi dari Tuhan itu dapat dijelaskan secara rasional dan di mana letak
hubungan antara Pencipta dan ciptaan-Nya? Untuk menjawab hal tersebut maka
melalui sudut pandang pemikiran Thomas Aquinas, kita bersama-sama akan belajar
dan mendalami tentang kosmologinya.
II.
Selayang Pandang Thomas dari Aquino (1225-1274)
Thomas dari
Aquino atau Thomas Aquinas dilahirkan di Rocca Sicca dekat Napoli, Italia. Ia
berasal dari keluarga bangsawan Aquinas (Aquino). Ibunya masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Kaisar Frederik II yang pada waktu itu berkuasa. Pada
usia lima tahun (1230), ia diserahkan oleh orang tuanya ke Biara Benediktin di
Monte Cassino yang akhirnya dibubarkan karena para rahibnya diusir oleh
Frederik II (1239). Di sanalah ia menjalani pendidikan awal. Menjelang usia 20
tahun ia bergabung dengan Ordo Dominikan dan menjadi murid Albertus Magnus di
Paris dan Köln. Dapat diperkirakan bahwa upaya Albertus untuk memanfaatkan
filsafat Aristoteles dalam berteologi memberikan pengaruh awal bagi arah dan
gaya berpikir Aquinas.[1]
Setelah studinya selesai, ia mulai mengajar teologi di Paris (1252-1259).
Kemudian ia pergi dan kembali lagi ke Paris untuk memangku jabatan professor
teologi di universitas (1269-1272). Selain itu ia juga mengajar di berbagai
tempat di Italia. Thomas meninggal dunia pada usia 49 tahun (7 Maret 1274).
Banyak ahli sejarah filsafat sepakat dalam mengatakan bahwa filsafat abad
pertengahan memuncak pada Aquinas.[2]
Sebagai
seorang profesor muda, ia mewariskan kepada kita sejumlah besar karya tulis
dalam bidang teologi dan filsafat. Tulisan-tulisannya membuktikan bahwa ia
bukan sekedar seorang filsuf dan teolog tetapi juga seorang mistikus. Dalam
arti bahwa apa yang ditulisnya merupakan kebenaran-kebenaran yang diyakini
dengan iman yang kokoh dan dalam kesatuan mistik dengan Tuhan.[3]
Dalam edisi modern, semua karyanya itu dikumpulkan dalam 34 jilid.
Karya-karyanya antara lain: komentar atas
buku “Sententiae” karangan Lombardus,
“Summa Contra Gentiles” (Ikhtisar
melawan orang-orang kafir), dan karyanya yang utama adalah “Summa Theologiae I-III” (Ikhtisar
Theologi I-III). Karya-karya Aquinas termasuk sebagai karangan-karangan
terpenting dari seluruh kesusasteraan kristiani.[4]
III.
Menyelami Kosmologi Thomas Aquinas
Thomas Aquinas
sebagai seorang ahli teologi dan filsafat dalam karya-karyanya yang kebanyakan
bersifat teologis terdapat suatu sintesis filosofis yang mencolok.[5]
Secara orisinil ia mendasarkan pemikirannya pada karya-karya berbagai macam
filsuf diantaranya seperti Plato dan Aristoteles, yang kemudian ia “ramu”
secara khusus dengan pemikirannya serta memadukannya dengan pemikiran para
pendahulunya seperti (salah satunya) Agustinus, sehingga menghasilkan suatu
sintesis yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini, kita akan
membicarakan filsafat kosmologinya yang berkisar pada kosep Pencipta dan
ciptaan.
3.1
Penciptaan
Dalam ajarannya
tentang penciptaan Aquinas memberikan penjelasan yang berkisar pada konsep
partisipasi atau hal mengambil bagian. Gagasan tersebut berasal dari Plato
serta Agustinus dan mengambil peranan sentral dalam seluruh metafisikanya.
Pendiriannya
ialah bahwa segala sesuatu yang diciptakan mengambil bagian dalam adanya Allah.
Itu berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan menurut adanya tergantung pada
Allah. Ia mempertahankan pula bahwa Allah sama sekali bebas dalam menciptakan
dunia. Dunia tidak mengalir dari Allah bagaikan air yang mengalir dari
sumbernya, seperti yang dipikirkan filsuf-filsuf neoplatonis dalam ajaranya tentang
“emanasi.” Allah menjadikan ciptaan-ciptaan dari ketiadaan (ex nihilo).[6]
Dari penjelasan
tersebut Aqunias ingin menekankan dua hal:
[1]
Dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar. Ciptaan-ciptaan menurut adanya
tergantung pada Allah, bukan menurut salah satu aspek saja. [2] Penciptaan
tidak terbatas pada satu saat saja. Tidak boleh dibayangkan bahwa dunia pada
satu saat tertentu diciptakan Tuhan dan kemudian sudah tidak lagi tergantung
pada-Nya. Pada tiap-tipa saat ciptaan-ciptaan tergantung pada Allah. Jadi,
harus dikatakan bahwa penciptaan tetap berlangsung terus.[7]
Oleh
karena itu, hal yang salah bila kita beranggapan bahwa Allah menciptakan dunia
dan kemudian Ia sama sekali tidak terlibat di dalamnya. Bagi Aquinas Allah
tetap ada dan penciptaan merupakan suatu hal yang terus terjadi dan tiada
hentinya. Aquinas berpikir bahwa atas dasar filsafat belaka tidak dapat
dibuktikan bahwa dunia diciptakan dalam waktu dan terdapat kemungkinan bahwa
dunia diciptakan dari kekal. Tetapi atas kesaksian Alkitab kita dapat
mengetahui bahwa dunia mempunyai permulaan dalam waktu.[8]
Bertolak dari gagasan tersebut, maka Aquinas dengan kecermelangannya
menjelaskan bukti dari eksistensi Tuhan.
3.2
Bukti dari Eksistensi Tuhan[9]
Dalam
menunjukkan eksistensi Tuhan, Aquinas menyajikan gagasannya dengan pertama-tama
berangkat dari analisis dunia indrawi. Dari situ ia kemudian beranjak ke
pengertian bahwa eksistensi objek-objek itu terikat dalam suatu rangkaian dari
penyebab-penyebab yang berujung pada suatu penyebab pertama yang disebut Tuhan.
Aquinas dalam Summa Theologiae menyodorkan
lima bukti tentang eksistensi Tuhan yang terkenal sebagai “lima jalan” (quinque viae) (ST. I, q. 2, a. 3).
3.2.1
Jalan Pertama: Bukti Berdasarkan Gerak
Di
dalam dunia ini banyak hal selalu berada dalam gerak. Sesuatu dapat bergerak
sudah barang tentu digerakan oleh sesuatu yang lain. Jika sesuatu dalam keadaan
diam maka ia dapat dikatakan berada dalam gerak secera potensial. Gerak terjadi
bila sesuatu secara potensial berada dalam keadaan gerak, digerakan sehingga secara
aktual bergerak. Jadi, gerak merupakan suatu perubahan (transformasi) dari
sesuatu yang bersifat potensial menuju aktual, dan sesuatu yang aktual ini
dapat bergerak karena digerakan oleh sesuatu yang aktual lainnya. Dengan kata
lain suatu objek hanya akan bergerak jika digerakan oleh sesuatu yang lain yang
secara aktual bergerak. Sebagai contoh, bayangkan ada sederet kartu domino yang
disusun secara berdiri, satu dibelakang yang lain. Dalam keadaannya yang diam
kartu domino tersebut dapat dikatakan bergerak secara potensial. Kartu-kartu
domino tersebut hanya akan bergerak secara aktual jika ditindih oleh kartu yang
lain di belakangnya.
Atas
dasar itu, Aquinas mengambil kesimpulan umum bahwa tidak ada sesuatu pun yang
dapat ditransformasi dari keadaan potensial ke keadaan aktual oleh sesuatu yang
sendiri hanya berada dalam keadaan potensial. Potensialitas berarti absensi
dari sesuatu, karena itu tidak lain dari ketiadaan. Berarti ketiadaan gerak
tidak dapat menghasilkan gerak. Maka bagi Aquinas tidak ada sesuatu pun yang
dapat mengalihkan potensialitas menjadi aktualitas, kecuali sesuatu yang
sendirinya merupakan aktualitas. Bayangkan bila ada suatu rangkaian seri bahwa
A digerakan oleh B, dan B oleh C, dan seterusnya, maka kita harus tiba pada
suatu titik batas di mana ada suatu penggerak yang dapat menggerakan semua hal
yang lain, tanpa ia sendiri digerakan. Inilah yang dinamakan
“penggerak-yang-tak-digerakan” atau Penggerak Pertama. Menurut Aquinas semua
orang mengerti bahwa “penggerak-yang-tak-digerakan” tersebut sebagai Tuhan.
Gerak yang dimaksud oleh Aquinas di sini perlu dimengerti sebagai gerak dalam
arti seluas-luasnya yang meliputi semua tata dunia ciptaan.
3.2.2
Jalan Kedua: Bukti Berdasarkan Penyebab Efisien
Dari berbagai kasus kita melihat bahwa
terdapat berbagai jenis akibat yang menunjukkan suatu penyebab efisien bagi
setiap efek. Sebagai contoh penyebab efisien dari sebuah lukisan adalah
pekerjaan si pelukis. Orang tua dari si pelukis adalah penyebab efisien dari si
pelukis sendiri. Si pengerajin kanvas adalah penyebab efisien dari kanvas yang
digunakan oleh si pelukis. Jadi ada suatu rangkaian rumit dari banyak penyebab
efisien yang dapat dijejaki kembali melalui suatu seri panjang. Hal ini mau
menegaskan bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang dapat menyebabkan dirinya
sendiri.
Berlandaskan
pada gagasan tersebut, maka kita dapat mengatakan suatu penyebab selalu
mendahului efeknya. Berarti, tidak ada sesuatu pun yang dapat mendahului
dirinya sendiri. Karena itu, setiap peristiwa menuntut adanya penyebab yang
mendahuluinya. Namun, penyebab yang mendahuluinya pun didahului oleh penyebab
yang lain. Maka, Aquinas menegaskan semua penyebab dalam seri itu tergantung pada
penyebab efisien yang pertama yang telah memungkinkan semua penyebab efisien
aktual sebagai penyebab bagi efek masing-masing. Penyebab Efisien Pertama itu
setiap orang mengenal dan menyebut-Nya sebagai Tuhan.
3.2.3
Jalan Ketiga: Bukti Berdasarkan Kontijensi dan Nesesitas
Di
dalam alam semesta kita tahu bahwa sesuatu dapat ada dan dapat juga tidak ada.
Hal seperti itu disebut kontinjen (relatif) dalam arti tidak harus selalu ada.
Sebagai contoh, ada saatnya ketika sebatang pohon belum ada, tetapi kemudian
ada (tumbuh) dan kelak lenyap. Hal ini ingin mengatakan bahwa sesuatu adalah
kontinjen harus pula berarti ganda: dapat ada dan dapat tidak ada. Segala
sesuatu yang bersifat kontijen memiliki karakteristik sama, yaitu dapat tidak
ada, bukan saja sesudah, melainkan yang lebih penting ialah sebelum
eksistensinya.
Segala
sesuatu dapat pernah tidak ada, dan pada waktu tertentu ada, dan akhirnya akan
lenyap dari eksistensi riilnya. Sekali sesuatu mempunyai eksistensi, ia dapat
menyebabkan sesuatu yang lain yang segenus. Misalnya, manusia melahirkan anak.
Pada titik ini, Aquinas mengemukakan bahwa segala sesuatu yang ada tidak
mendapat eksistensi dari dirinya sendiri dan tidak pula dari esensinya. Jika
segala sesuatu dalam realitas bersifat kontijen, maka pada saat tertentu pernah
tidak ada satupun hal yang memiliki eksistensi. Jika demikian maka sekarangpun
tidak ada sesuatu yang ada. Aquinas menyimpulkan bahwa pasti ada sesuatu yang
memiliki eksistensi yang bersifat niscaya; eksistensi merupakan suatu keharusan.
Oleh karena itu, sesuatu itu harus mempunyai eksistensi dari dirinya sendiri
yang mutlak dan dapat menyebabkan segala sesuatu yang lain memiliki eksistensi.
Sesuatu itulah yang semua orang menyebut-Nya Tuhan.
3.2.4
Jalan Keempat: Bukti Berdasarkan Derajat Kesempurnaan
Dalam
realitas kehidupan sering kita mendengar ungkapan “kurang baik” dan yang lain
lagi disebut “lebih baik.” Gaya ungkapan seperti ini hanya mungkin bila pada
hal-hal tertentu menunjuk kepada suatu keadaan maksimum. Hal ini biasanya
terjadi bila kita ingin membandingkan sesuatu hal dengan hal yang lain,
misalnya manusia dengan hewan. Dengan arti lain, ingin dikatakan bahwa terdapat
tingkatan-tingkatan kesempurnaan, sehingga pada setiap genus ada hal yang
memenuhi keadaan maksimum.
Di
sini, Aquinas berpikir bahwa pasti ada juga realitas yang paling sempurna,
melebihi semua kesempurnaan dari semua genus. Prinsipnya berbunyi, “Apabila
sejumlah hal memiliki sesuatu sebagai karakter umum, maka semestinya yang
memilikinya secara paling sempurna menyebabkan yang lain memilikinya.” Jadi, api adalah panas maksimum generik bagi
semua hal yang panas. Mengatasi semua kesempurnaan generik, terdapat
kesempurnaan maksimum yang menjadi sumber dari segala kebaikan dan setiap
kesempurnaan, dan itulah yang disebut Tuhan.
3.2.5
Jalan Kelima: Bukti Berdasarkan Ketertiban Alam Semesta
Kita mengalami bahwa
segala sesuatu yang menjadi bagian dari alam semesta atau bagian dari tubuh
manusia, yang tidak memiliki inteligensi, ada dan beraktivitas sesuai dengan
ketertiban tertentu untuk mencapai tujuan dan fungsi tertentu. Ini berarti,
benda-benda ada tidak secara kebetulan, melaikan karena ketertiban yang
direncanakan. Selain dari pada itu, organ-organ yang tidak memiliki
inteligensi, hanya akan berfungsi jika digerakan atau diarahkan oleh sesuatu
yang memiliki inteligensi; bagaikan pacul yang perlu digerakan oleh tangan
petani yang hendak memacul. Aquinas menyimpulkan bahwa mesti terdapat suatu
eksisten inteligen yang olehnya segala sesuatu yang alamiah diarahkan secara
tertib menuju tujuannya. Sesuatu yang alamiah di sini perlu dimengerti sebagai
ketertiban alam semesta. Dari situlah diperoleh pemahaman bahwa Eksistensi yang
dimaksud itulah yang disebut Tuhan.
3.3
Hubungan antara Pencipta dan Ciptaan[10]
Pencipta dan
ciptaan adalah dua hal yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan antara
keduanya dapat dilihat baik dari sudut eksistensi maupun esensinya. Aquinas
memberikan secara kontras perbedaan antara keduanya sebagai berikut.
Semua
ciptaan merupakan substansi-susunan yang esensinya berbeda dari eksistensi,
sedangkan pada Tuhan esensi dan eksistensi identik. Selain itu, esensi ciptaan
digambarkan sebagai potensialitas dan dihadapkan pada eksistensi yang sebanding
dengan aktualitas. Sementara Tuhan adalah aktualitas murni, tanpa potensialitas
apapun. Selanjutnya, sementara eksistensi dari semua ciptaan merupakan
partisipasi terbatas pada esse masing-masing
menurut esensinya, Tuhan hanya mengada tanpa berpartisipasi pada sesuatu yang
lain. Kosekuensinya, mahluk ciptaan dicirikhaskan oleh dependensi eksistensial
terhadap Tuhan, sedangkan Tuhan sama sekali independen.[11]
Berangkat
dari perbedaan tersebut maka hubungan antara Tuhan dan mahluk ciptaan dapat
dijelaskan dengan cara demikian.
3.3.1
Partisipasi: Kausalitas dan Subjektivitas
Pandangan
ini terinspirasi dari Plato, yang kemudian Aquinas kembangkan dalam konteks
metafisika esse. Menurutnya, segala
sesuatu bereksistensi, mengada secara partisipatif, dalam arti eksistensinya
bersifat partikular dan merupaka partisipasi saja pada Pengada yang memiliki
eksistensi paling sempurna, yaitu Tuhan (ST.
I, q. 44, a. 1). Perlu dimengerti bahwa partisipasi di sini berlangsung menurut
esensi masing-masing ciptaan. Jadi, masing-masing ciptaan berperan sebagai
pengada yang berpartisipasi dalam kesempurnaan mengada menurut potensialitasnya
sebagai penerima eksistensi. Di sinilah tingkat partisipasi menyatakan derajat
kesempurnaan dalam tata alam semesta. Akan tetapi, hanya eksistensi Tuhan yang
paling sempurna, tidak terbatas, dan murni (ST.
I, q. 75, a. 5, ad. 4). Dengan kata lain, eksistensi dari semua ciptaan
disebabkan dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta.
Selanjutnya,
Aquinas menambahkan bahwa dalam setiap spesies terdapat individualitas yang
berarti terdapat perbedaan-perbedaan dari sesamanya yang satu spesies.
Perbedaan tersebut kemudian diterangkan oleh Aquinas dalam dua bentuk limitasi;
Pertama, limitasi terjadi melalui
esensi yang membatasi cara bereksistensi. Kedua,
limitasi terjadi melalui materi dalam proses individuasi. Sebagai contoh,
Soekarno dan Soeharto sama-sama berada di bawah spesies manusia karena dibatasi
oleh esensi yang sama. Akan tetapi, karena kuantitas materinya berbeda, maka
meskipun esensinya sama, terjadi proses individuasi yang membedakan Soekarno
dari Soeharto. Oleh karena itu, menurut Aquinas, partisipasi pengada-pengada
pada eksistensi Tuhan yang sempurna tidak bercorak univocal.
Walau
demikian, pada hakikatnya Aquinas menyatakan bahwa ada kedekatan yang intensif
antara Tuhan dan segala ciptaan-NYa. Melalui ketergantungan ciptaan terhadap
Penciptanya, secara tersirat menerangkan suatu susunan hierarkis alam ciptaan.
Itulah yang akhirnya membentuk subjektivitas relasi antara Pencipta dan
ciptaan-Nya, yang boleh dibaca sebagai cerminan kehadiaran Tuhan sebagai
Pencipta. Dalam arti itu, eksistensi ciptaan merupakan pintu masuk kepada
perjumpaan dengan Sang Pencipta.
3.3.2
Dependensi dan Analogi
Dependensi
menurut Aquinas secara umum mengartikan bahwa eksistensi ciptaan menyatu dengan
sumbernya, atau eksistensi ciptaan yang terbatas tunduk secara radikal terhadap
eksistensi Tuhan yang sempurna. Dependensi ciptaan pada Tuhan bersifat
menyeluruh, karena ketergantungan itu meliputi segala sesuatu yang ada. Hal itu
juga berarti bahwa sejauh sesuatu bereksistensi, atas salah satu cara, Tuhan
hadir padanya. Aquinas berkata, “Aktus mengada merupakan hal yang secara paling
mendalam hadir dalam segala ciptaan dan secara paling fundamental menyatu pada
apapun juga.” Akan tetapi, oleh karena Tuhan merupakan aktus mengada yang
paling sempurna dan asali, maka Aquinas menyimpulkan bahwa “Tuhan hadir dalam segala sesuatu secara
paling mendalam” (ST. I, q. 8, a. 1).
Dengan demikian, hal tersebut hendak menyatakan kehadiran Tuhan secara akrab
dan riil dalam setiap ciptaan.
Melalui
analogi, Aquinas ingin mengatakan bahwa tata dunia ilahi berbeda dengan tata
dunia ciptaan. Perbedaan itu tidak hanya menentukan cara berbicara kita tentang
ciptaan dalam hubungannya dengan Tuhan, yaitu bahwa kita hanya bisa berbicara
dengan menggunakan analogi, melainkan juga menjelaskan jenis hubungan antara
Tuhan dan alam ciptaan. Sebagai contoh, kita tidak bisa menyamakan makna setia,
antara “anjing yang setia” dengan “Tuhan yang setia.” Meskipun mempunyai arti
yang sama, tetapi di dalamnya tersimpan sebuah makna yang sangat berbeda.
Dengan demikian menurut Aquinas, cara paling tepat untuk berbicara mengenai
Tuhan dari sudut pandang manusia adalah dengan menggunakan analogi. Analogi
mengartikan cara berbicara yang menggunakan suatu kata yang memiliki banyak arti,
tetapi menyatakan secara gamblang adanya berbagai proporsi dari hal yang sama.
Aquinas
menulis, “Tuhan sama sekali berbeda di luar tata dunia ciptaan, dan semua
mahluk tunduk kepada-Nya, dan bukan sebaliknya. Ciptaan-ciptaan benar-benar
tergantung (really related) pada
Tuhan, sedangkan pada Tuhan tidak ada relasi kodrati (no real relation) kepada mahluk ciptaan. Relasi Tuhan kepada
ciptaan hanya merupakan suatu relasi logis (relation
rationis), yakni relasi yang dapat dimengerti atau yang masuk akal sebagai
konsekuensi dari keyakinan bahwa seluruh ciptaan selalu terarah kepada Tuhan
sebagai Pencipta” (ST. I, q. 13,
a.7).[12]
IV.
Kesimpulan dan Relevansi Kosmologi Thomas Aquinas
Secara
garis besar kosmologi Thomas Aquinas ingin menekankan bahwa penciptaan itu
senantiasa terjadi secara berkesinambungan dan tanpa henti. Dalam prosesnya,
Tuhan tidak serta merta berhenti setelah melakukan penciptaan, melainkan Dia
senantiasa ada dalam rangkaian perjalanan penciptaan tersebut. Keberadaan
(eksistensi) Tuhan inilah yang kemudian oleh Aquinas dibuktikan secara rasional
melalui “lima jalan” (quinque viae),
yaitu bukti berdasarkan gerak, bukti berdasarkan penyebab efisien, bukti berdasarkan
kontijensi dan nesesitas, bukti berdasarkan derajat kesempurnaan, dan bukti
berdasarkan ketertiban alam semesta. Melalui pembuktian-pembuktian itulah yang
kemudian menjadi gagasan dasar untuk melihat letak di mana hubungan antara
Pencipta dan ciptaan-Nya. Sehingga, terbentuklah gambaran hierarki tata ciptaan
di mana Tuhan terletak di puncak tertinggi yang menyebabkan seluruh ciptaan
memeroleh eksistensinya. Akan tetapi, Tuhan sama sekali berbeda di luar tata
dunia ciptaan, dan semua mahluk benar-benar tergantung pada Tuhan.
Dari
penjelasan tersebut bila melihat situasi dewasa ini, di mana rasionalitas
memegang kendali, kerap kita dibawa ke dalam situasi kebimbangan akan
eksistensi Tuhan. Kita menjadi tidak percaya akan keberadaan Tuhan dan
menganggap bahwa kehidupan itu sepenuhnya berada di tangan kita. Akibat
negatifnya, terjadi degradasi moral di sebagian manusia yang memicu semakin
progresnya kriminalitas. Kita menjadi seakan-akan benar-benar bebas terhadap
apa saja yang ingin kita lakukan. Kita memposisikan diri menduduki tempat
tertinggi di alam semesta ini, sehingga bisa melakukan eksploitasi
besar-besaran terhadap apa yang telah disediakan oleh alam. Hedonisme,
kosumerisme, dan materialisme menjadi sosok yang menggantikan kedudukan Tuhan,
yang dampaknya menyuburkan egoisme tiap-tiap individu.
Oleh karena itu, penting untuk kita, tanpa terkecuali
yang hidup di zaman sekarang, untuk memelajari kosmologi Thomas Aquinas ini.
Kita akan menginsafi bahwa eksistensi Tuhan bukanlah imajinasi belaka melaikan
sesuatu yang rasional. Kita akan memeroleh pengetahuan dan pemahaman, yang
benar-benar dapat membantu kita memposisikan diri di dalam alam semesta ini.
Akal budi kita akan terbuka dan tahu bahwa kita sepenuhnya benar-benar
tergantung kepada Tuhan. Sehingga, kita benar-benar bisa menjadi
pribadi-pribadi yang tahu bagaimana
hidup itu harus dijalani.
Daftar
Pustaka
Bertens, K., Prof. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta:
KANISIUS, 2011.
Ohoitimur, Johanis, Dr.,
MSC. METAFISIKA SEBAGAI HERMENEUTIKA Cara
Baru Memahami Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead.
Jakarta: OBOR, 2006.
Sutrisno, F. X. Mudji dan
F. Budi Hardiman (eds.). Para Filsuf
Penentu Gerakan Zaman. Yogyakarta: KANISIUS, 1992.
[1] Bdk. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC,
METAFISIKA SEBAGAI HERMENEUTIKA Cara Baru
Memahami Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead,
Jakarta: OBOR, 2006, hlm. 6-7.
[2] Bdk. Prof. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta:
KANISIUS, 2011, hlm. 35-36.
[3] Bdk. Dr. Johanis Ohoitimur, MSC,
Op. Cit., hlm. 8.
[4] Bdk. F. X. Mudji Sutrisno dan F.
Budi Hardiman
(eds.), Para Filsuf Penentu Gerakan Zaman,
Yogyakarta: KANISIUS, 1992, hlm. 39-40.
[5] Ibid., hlm. 41.
[6] Bdk. Prof. K. Bertens, Op. Cit., hlm. 36.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm. 36-37.
[9] Pada bagian ini disadur dari Dr.
Johanis Ohoitimur, MSC, Op. Cit.,
hlm. 83-90.
[10] Ibid., hlm. 90-98.
[11] Ibid., hlm. 90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar