Jumat, 12 April 2013

MEMELUK HAKIKAT PENGETAHUAN

(Belajar Epistemologi bersama Platon)
Oleh: Angga Nofianto
Platon (www.religiousverse.com)
Pengantar
           
            Dewasa ini, pengetahuan merupakan suatu hal yang penting dan mendasar bagi kehidupan manusia. Begitu pentingnya pengetahuan sampai-sampai ia menjadi “tuan” yang menguasai setiap aspek di dalam kehidupan manusia, baik itu kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik, seni, maupun kehidupan religius. Bahkan, tidak mengherankan bahwa saat ini pengetahuan sudah menjadi patokan mutlak, untuk menilai seberapa besar kualitas dari masing-masing pribadi. Sehingga, munculah suatu istilah yang dicetuskan oleh Sir Francis Bacon seorang filsuf Inggris (1561-1626) bahwa “Knowledge is Power,”[1] yang semakin mempertegas wibawa pengetahuan sebagai “tuan” atas kehidupan.
            Akan tetapi, pengetahuan itu merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Maka, muncullah pembagian-pembagian dalam diri pengetahuan[2], yang bertujuan mempermudah manusia dalam mempelajari serta mendalami suatu hal secara khusus. Melihat begitu kompleksnya pengetahuan dan begitu pentingnya posisi pengetahuan dalam kehidupan, lalu munculah pertanyaan, apa hakikat dan tujuan dari dari adanya pengetahuan itu sendiri? Berangkat dari pertanyaan tersebut, dimulailah ranah pemikiran filsafat Platon tentang hakikat dari pengetahuan.


Platon (472-347 SM)

Platon adalah seorang filsuf Yunani klasik yang hidup pada suatu periode gelap kehidupan politik Athena. Situasi yang suram ini memunculkan banyak persoalan menyangkut kehidupan moral. Hal ini yang mendorong Platon untuk bereaksi dengan suatu perlawanan moral pula.[3] Buah-buah dari pemikiran inilah yang akhirnya menjadikan ia memiliki pengaruh yang besar di antara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun modern. Ia merupakan murid Sokrates, guru yang sangat ia cintai dan hormati. Pemikiran filsafat murni yang memengaruhi Platon pun adalah filsafat yang mendorongnya untuk menyukai Sparta. Secara umum, pemikiran Platon juga dipengaruhi oleh Pythagoras, Parmenides, dan Heraklitus.[4] Ia juga merupakan pendiri Akademi (The Academy atau Academus atau Hecademus) yang tercatat sebagai perguruan tinggi pertama dalam sejarah Barat.[5]
Sejumlah segi terpenting dalam pemikiran filsafat Platon adalah: pertama, gagasan tentang Utopia, yang merupakan tema awal pemikirannya; kedua, teori tentang ide-ide, yang merupakan upaya awal yang mengkaji masalah tentang universal yang hingga kini masih diperdebatkan; ketiga, pendapatnya yang mendukung imortalitas; keempat, pandangan kosmogoninya; kelima, konsep tentang pengetahuan yang lebih bersumber dari ingatan daripada persepsi.[6] Berkaitan dengan konsep tentang pengetahuan, maka akan lebih didalami pada kesempatan ini.

Hakikat Pengetahuan dalam Terang Ajaran Platon

            Platon adalah seorang filsuf dengan pola pemikiran yang cermelang. Ia mengungkapkan pemikirannya tentang epistemologi dengan menggunakan metafor-metafor, yang meliputi “alegori gua,” “kiasan matahari,” dan “kiasan garis terbagi.” Penggunaan metafor ini dimaksudkan sebagai “jembatan” yang menghubungkan antara dunia nyata (dunia sehari-hari) dengan dunia ide atau dunia inteligibel (dunia tidak kelihatan). Untuk dapat semakin jelas dalam menjalin kedekatan dengan epistemologi Platon, terlebih dahulu kita harus mengenal gagasan dasar dari pemikiran tokoh yang cemerlang ini.

Gagasan Dasar Epistemologi Platon
           
Gagasan dasar epistemologi Platon terletak pada distingsi antara pengetahuan sejati (episteme) dan opini atau pendapat (doxa), antara “ada” dan “menjadi,” antara “dunia yang sungguh-sungguh nyata (dunia tidak kelihatan)” dengan “dunia keseharian yang sering berubah-ubah (realitas inderawi).”[7] Hal ini kemudian digambarkan dengan penggunaan metafor “terang dan gelap” dan “siang dan malam” untuk menjelaskan kodrat pengetahuan dan perbedaan antara pengetahuan dengan pendapat, dan bagaimana pengetahuan dan pendapat saling berpadu. Dalam konteks ini, Platon juga melihat pengetahuan dan opini secara teknis, terutama dalam hubungannya dengan persepsi.

Platon berhasil mempersatukan pandangan Heraklitus tentang perubahan dan Parmenides tentang stabilitas dengan membedakan tingkatan-tingkatan realitas. Dan dia mengatakan bahwa pengetahuan hanyalah tentang forma, namun pengetahuan ini diperoleh dari pengetahuan inderawi melalui prinsip imitasi dan partisipasi. Dengan demikian, secara implisit Platon mengakui pentingnya dunia inderawi dalam mencapai pengetahuan. Betapa pun demikian, Platon tetap mengakui bahwa pengetahuan lebih bernilai daripada opini karena pengetahuan lebih berkecimpung dalam lingkungan inteligibel, dan ini lebih real daripada lingkungan sensibel yang menjadi objek utama dari opini.[8]

Demikianlah gambaran gagasan dasar dari epistemologi Platon sebagai pengantar dalam memasuki alam pikir filsafat Platon.

Alegori Gua

            Dalam metafornya tentang alegori gua, Platon menggambarkan tentang manusia yang dapat dibandingkan dengan kehidupan orang-orang tahanan yang sejak lahir terbelenggu di dalam gua. Mereka dipasung pada kaki dan lehernya, sehingga mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah ke dinding gua. Di belakang mereka ada api yang menyala. Beberapa budak belian mondar-mandir di depan api itu, sambil memikul berbagai macam benda. Hal itu menimbulkan bayang-bayang yang dipantulkan pada dinding gua. Oleh karena sejak lahir hidup di dalam gua, mereka percaya bahwa bayang-bayang yang terpantul pada dinding gua merupakan realitas yang sesungguhnya. Selang beberapa waktu seorang dari antara para tawanan ini dilepaskan. Ia naik ke atas gua secara perlahan-lahan dan melihat api yang ada di situ. Ia mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang bukanlah realitas yang sesungguhnya. Lalu ia dihantar ke luar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Awalnya ia berpikir bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi, perlahan-lahan ia menginsafi bahwa itulah realitas yang sesungguhnya yang belum pernah dilihatnya. Pada akhirnya ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat hanyalah bayang-bayang belaka. Namun, mereka tidak memercayai hal itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu, maka mereka pasti akan membunuh tiap orang yang hendak melepaskan mereka dari dalam gua.[9] Dari penjelasan yang terkesan seperti sebuah cerita narasi ini, secara implisit Platon ingin menjelaskan epistemologinya dalam hubungan dengan proses memeroleh pengetahuan.
            Metafor tersebut dapat dimegerti sebagai berikut. Gua ibarat dunia yang disajikan kepada pancaindera kita. Orang-orang tahanan diartikan sebagai kita (manusia), yang menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi, ada beberapa orang yang mulai memerkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain dari sekedar bayang-bayang saja, mereka itulah filsuf. Awalnya mereka merasa heran sekali, tetapi dalam prosesnya mereka menemukan ide “yang Baik” (matahari) sebagai realitas tertinggi. Hal ini menggambarkan bahwa dalam proses mencapai kebenaran dibutuhkan suatu pendidikan dan kerja keras serta usaha khusus untuk melepaskan diri dari pancaindera yang menyesatkan. Sebagaimana dilukiskan dalam alegori gua, filsuf pun akan sulit dipercayai orang.[10]

Kiasan Matahari
           
Semua orang setuju bahwa matahari memungkinkan benda-benda dapat dilihat  oleh mata (dalam arti memiliki daya visibilitas (sight)), dan berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan benda-benda ini (Rep., 503b). Kita memiliki mata dan ada objek yang dapat dilihat, namun apabila tidak ada cahaya kita juga tidak dapat melihat apa-apa (507de).[11] Dengan demikian dapat diartikan bahwa cahaya merupakan syarat mutlak bagi adanya sight. Di samping memungkinkan benda-benda untuk dapat dilihat, matahari juga memungkinkan perkembangan dan daya tumbuh serta kesuburan mereka (509b). Matahari adalah awal sekaligus akhir suatu kehidupan sensibel, yaitu dengan memberikan tenaga untuk hidup dan mengarahkan segala sesuatu menuju akhir.[12] Bagi manusia matahari memberi hidup dan membantu manusia memiliki pengetahuan yang semestinya, karena fakulti penglihatan merupakan salah satu dari banyak elemen yang sangat penting bagi proses pembentukan pengetahuan intelektual. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa orang buta tidak memiliki pengetahuan karena tidak bisa melihat. Pengetahuan di sini harus  dimengerti menurut proses intelektual yang normal.[13]
Metafor ini ingin menjelaskan hubungan antara dunia kelihatan (inderawi) dan tidak kelihatan (dunia inteligibel).

Platon melihat bahwa matahari dalam dunia rupa analog dengan kebaikan dalam dunia inteligibel (VI, 508e). Sebagaimana matahari menempati tempat tertinggi dalam dunia rupa, kebaikan dilihat sebagai prinsip tertinggi dalam dunia intelek dan yang menjadi hal terpenting untuk dipelajari dan diketahui. Daripadanya hal-hal yang adil dan segala kebajikan lain menjadi berdaya guna dan menguntungkan (505a). Dengan ini jelas bahwa manusia hanya dapat memperoleh kebijaksanaan atau keadilan karena kebaikan itu sendiri.[14]

                Oleh karena itu, ide tentang kebaikan merupakan sebab dari adanya pengetahuan dan kebenaran, sejauh kebenaran itu diketahui (508e). Atas dasar kebaikan tertinggi ini akal manusia dijadikan inteligen dan akal kita dimampukan untuk menangkap benda-benda inderawi secara immaterial.[15]

Kiasan Garis Terbagi

Metafor ini mencoba menjelaskan proses intelektual yang bermula dari dunia inderawi bergerak ke atas menuju alam berpikir (dunia inteligibel). Proses tersebut dapat dijelaskan menggunakan empat fase atau langkah. Keempat fase ini (secara berurutan dari tingkat paling rendah sampai tingkat paling atas) meliputi eikasia, pistis, dianoia, dan noesis. Berapa luas ruang atau wilayah setiap fase yang diperlihatkan dalam bagian-bagian garis itu tidak jelas. Platon hanya mengatakan bahwa garis harus terbagi ke dalam dua bagian yang tidak sama dan setiap bagian masih harus dibagi lagi ke dalam dua bagian yang sama luas (VI, 509d).[16] Penjelasan atas keempat fase tersebut sebagai berikut; eikasia (= “persepsi” atau bayangan), ia menempati bagian garis yang paling rendah. Ia diperlihatkan dalam garis sebagai bayangan-bayangan yang merefleksikan dunia sensibel atau dunia inderawi yang tidak berhubungan dengan kehidupan real dan segala aktivitas yang ia hasilkan; pistis, disebut sebagai suatu perasaan pasti dalam mengetahui objek-objek sensibel. Ia berisikan objek-objek fisis yang memproyeksikan bayangan-bayangan dalam eikasia. Jadi pistis dan eikasia bersama-sama membentuk doxa (pendapat atau opini) yang dilihat sebagai bayangan dari forma atau realitas inteligibel (534a). sehingga terdapat relasi yang erat antara keduanya; dianoia (intelek), ia berurusan dengan hal-hal inderawi dan menggunakannya sebagai simbol sesuatu yang tidak inderawi. Ia juga selalu memulai argumentasinya dari hipotesis-hipotesi. Sebagai contoh dua tipe dianoia yang sangat jelas tampak pada aritmatika (ilmu hitung) dan geometri (ilmu ukur).  Ia menggunakan prosedur gerakan turun dari premis menuju konklusi, dari sinilah terlihat suatu proses berlanjut gerakan berpikir; noesis, ia menempati bagian garis paling atas dan dimengerti sebagai pengenalan tentang segala objek atau kebenaran dari dunia inteligibel. Dengan kata lain, noesis merupakan karya akal seseorang yang melihat dengan penuh kejelasan dan inteligensia sempurna. Noesis merupakan visi langsung atas forma. Ia merupakan aktus intuitif dalam memahami (lewat jalan naik) suatu ide atau kebenaran awal yang secara implisit ada dalam suatu kesimpulan. Dalam seluruh karya Platon, ia dimengerti sebagai usaha menemukan kodrat yang benar dari prinsip-prinsip rasional yang secara implisit kita kenal di dalam pikiran.[17]     
Jadi sebagai pengingat kembali, kiasan garis terbagi ini memiliki maksud untuk mengemukakan suatu perjalanan intelektual. Suatu  perjalana yang mencoba menjelaskan proses perkembangan intelektual yang bermula dari dunia yang dapat dilihat (dunia visibel/sensibel) (eikasia ) dan kemudian bergerak ke atas menuju ke lingkup berpikir atau yang disebut juga dunia inteligibel (noesis). Selain daripada itu kiasan ini juga bertujuan ingin menjelaskan kodrat dari filsafat itu sendiri sebagai tahap tertinggi dalam proses berpikir manusia.

Kesimpulan dan Relevansi Epistemologi Platon

Dari uraian epistemologi Platon yang disajikan dalam bentuk kiasan-kiasan tersebut, kita dapat mengerti bahwa epistemologi Platon tidak bisa dilepaskan begitu saja dari ajarannya tentang etika. Bagi Platon kebenaran atau kebaikan yang merupakan kiblat dari etika, juga merupakan kiblat dari semua hal yang pernah diajarkannya (termasuk epistemologi). Lepas dari hal itu, secara garis besar Platon dalam epistemologinya ingin mengajak kita untuk menyelami hakikat dari pengetahuan sejati. Pengetahuan sejati bagi Platon merupakan suatu proses perjalanan intelektual menuju kebenaran. Kebenaran di sini pada dasarnya sudah ada di dalam diri manusia yang terdapat di dalam dunia inteligibel (pikiran atau dunia ide). Dunia ide inilah yang menjadikan manusia memiliki pengetahuan yang benar. Benda-benda inderawi yang tampak oleh indera memeroleh maknanya dari dunia ide. Oleh karena itu menurut pandangannya, pengetahuan sejati hanya bisa dipahami dengan intelek, bukan indera. Pikiran seharunya mengambil jarak terhadap dunia sensibel agar bisa mencapai kebenaran. Sehingga, Platon begitu mengagung-agungkan dunia ide sebagai realitas yang sesungguhnya. Hal ini bukan berarti Platon menganggap dunia inderawi tidak berguna, melainkan ia ingin mengatakan bahwa dunia inderawi itu juga turut berperan dalam proses pembentukan intelektual. Ini sejauh kita tidak menganggap apa yang tampak sebagai kebenaran begitu saja, melaikan harus melibatkan prinsip imitasi dan partisipasi. Karena apa yang terlihat belum tentu itu yang benar.
Bertitik tolak dari penjelasan tersebut, Platon ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa menilai begitu saja apa yang kelihatan oleh indera sebagai realitas yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila kita melihat seorang pelajar menyimpan narkoba di dalam tasnya, belum tentu bahwa ia adalah seorang pelajar yang juga memakai (pemakai atau pengonsumsi) narkoba atau pengedar narkoba. Bisa jadi ia dijebak oleh seseorang yang berniat jahat dan ingin menjatuhan reputasinya. Hal yang sama bila kita melihat seseorang yang bertamu ke rumah kerabat dan memakan hidangan yang telah disediakan tuan rumah di atas meja. Orang itu memakan hidangan yang ada, belum tentu karena ia lapar, bisa jadi ia memakan hidangan tersebut karena alasan lain, seperti sungkan atau sebagai wujud apresiasi terhadap kerja keras tuan rumah yang telah menyediakan hidangan itu. Contoh lainnya, bila kita melihat seorang wanita dan mengatakan kepadanya bahwa ia cantik. Hal ini juga belum tentu bahwa wanita itu benar-benar cantik. Bisa jadi kita mengatakan cantik lantaran tidak ingin menyakiti hatinya atau karena kita mencintainya, sehingga ia terlihat cantik di mata kita (ide tentang cantik).
Sebagai himbauan Platon juga mengajak setiap orang untuk memeroleh pendidikan. Menurut hemat saya, pendidikan di sini bila dikonkretkan dengan situasi dewasa ini bisa disamakan dengan pendidikan umum (sekolah) atau pendidikan khusus (tempat pelatihan-pelatihan). Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat memeroleh penge-tahu-an yang memadai tentang situasi-situasi kehidupan dan bisa bersikap kritis terhadap apa yang dilihatnya. Sebab sebagaimana saya menyetujui pendapat Platon bahwa apa yang dilihat bisa jadi menipu dan tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan dan kerja keras dalam upaya khusus menghindari penafsiran yang tidak benar dan menyesatkan terhadap suatu realita.





DAFTAR PUSTAKA

Beoang, Konrad Kebung, Dr., SVD. Platon Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta: KANISIUS, 2001.

Bertens, K., Dr. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: KANISIUS, 1989.

Pandor, Pius, CP. Diktat Sejarah Filsafat Yunani. Malang: STFT Widya Sasana, 2012.

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, penerj. Sigit Jatmiko et al. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2007.

Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philosophers 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: ANDI, 2010.




[1] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta: ANDI, 2010, hlm. 126.
[2] Pembagian di sini bisa diartikan sebagai pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan cabang-cabangnya, sebagai contoh: Ilmu Alam yang meliputi Fisika, Kimia, dan Biologi. Ilmu sosial, yang meliputi Psikologi, Antropologi, Etnologi, Sejarah, Ekonomi, dan Sosiologi. Serta Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, yang meliputi Geologi dan Astronomi.
[3] Bdk. Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Plato Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar, Yogyakarta: KANISIUS, 2001, hlm. 15.
[4] Bdk. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, penerj. Sigit Jatmiko et al., Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2007, hlm. 141-142.
[5] Kumara Ari Yuana, Op. Cit., hlm. 35.
[6] Bertrand Russell, Op. Cit., hlm. 141.
[7] Pius Pandor, Diktat Sejarah Filsafat Yunani, Bab IV, Malang: STFT Widya Sasana, 2012, hlm. 11.
[8] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Op. Cit., hlm. 29.
[9] Bdk. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: KANISIUS, 1989, hlm. 110-111.
[10] Ibid.
[11] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Op. Cit., hlm. 50.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm. 52.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 55.
[17] Ibid., hlm. 58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar