(Belajar
Epistemologi bersama Platon)
Oleh:
Angga Nofianto
Platon (www.religiousverse.com) |
Pengantar
Dewasa
ini, pengetahuan merupakan suatu hal yang penting dan mendasar bagi kehidupan
manusia. Begitu pentingnya pengetahuan sampai-sampai ia menjadi “tuan” yang menguasai
setiap aspek di dalam kehidupan manusia, baik itu kehidupan ekonomi, sosial, budaya,
politik, seni, maupun kehidupan religius. Bahkan, tidak mengherankan bahwa saat
ini pengetahuan sudah menjadi patokan mutlak, untuk menilai seberapa besar
kualitas dari masing-masing pribadi. Sehingga, munculah suatu istilah yang dicetuskan
oleh Sir Francis Bacon seorang filsuf Inggris (1561-1626) bahwa “Knowledge is Power,”[1]
yang semakin mempertegas wibawa pengetahuan sebagai “tuan” atas kehidupan.
Akan
tetapi, pengetahuan itu merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Maka,
muncullah pembagian-pembagian dalam diri pengetahuan[2], yang
bertujuan mempermudah manusia dalam mempelajari serta mendalami suatu hal
secara khusus. Melihat begitu kompleksnya pengetahuan dan begitu pentingnya
posisi pengetahuan dalam kehidupan, lalu munculah pertanyaan, apa hakikat dan
tujuan dari dari adanya pengetahuan itu sendiri? Berangkat dari pertanyaan
tersebut, dimulailah ranah pemikiran filsafat Platon tentang hakikat dari
pengetahuan.
Platon
(472-347 SM)
Platon adalah seorang
filsuf Yunani klasik yang hidup pada suatu periode gelap kehidupan politik
Athena. Situasi yang suram ini memunculkan banyak persoalan menyangkut
kehidupan moral. Hal ini yang mendorong Platon untuk bereaksi dengan suatu
perlawanan moral pula.[3]
Buah-buah dari pemikiran inilah yang akhirnya menjadikan ia memiliki pengaruh yang
besar di antara seluruh filsuf, baik pada zaman kuno, pertengahan maupun
modern. Ia merupakan murid Sokrates, guru yang sangat ia cintai dan hormati. Pemikiran
filsafat murni yang memengaruhi Platon pun adalah filsafat yang mendorongnya
untuk menyukai Sparta. Secara umum, pemikiran Platon juga dipengaruhi oleh
Pythagoras, Parmenides, dan Heraklitus.[4] Ia
juga merupakan pendiri Akademi (The
Academy atau Academus atau Hecademus) yang tercatat sebagai
perguruan tinggi pertama dalam sejarah Barat.[5]
Sejumlah segi
terpenting dalam pemikiran filsafat Platon adalah: pertama, gagasan tentang
Utopia, yang merupakan tema awal pemikirannya; kedua, teori tentang ide-ide,
yang merupakan upaya awal yang mengkaji masalah tentang universal yang hingga
kini masih diperdebatkan; ketiga, pendapatnya yang mendukung imortalitas;
keempat, pandangan kosmogoninya; kelima, konsep tentang pengetahuan yang lebih
bersumber dari ingatan daripada persepsi.[6]
Berkaitan dengan konsep tentang pengetahuan, maka akan lebih didalami pada
kesempatan ini.
Hakikat
Pengetahuan dalam Terang Ajaran Platon
Platon adalah seorang
filsuf dengan pola pemikiran yang cermelang. Ia mengungkapkan pemikirannya tentang
epistemologi dengan menggunakan metafor-metafor, yang meliputi “alegori gua,” “kiasan
matahari,” dan “kiasan garis terbagi.” Penggunaan metafor ini dimaksudkan
sebagai “jembatan” yang menghubungkan antara dunia nyata (dunia sehari-hari)
dengan dunia ide atau dunia inteligibel (dunia tidak kelihatan). Untuk dapat semakin
jelas dalam menjalin kedekatan dengan epistemologi Platon, terlebih dahulu kita
harus mengenal gagasan dasar dari pemikiran tokoh yang cemerlang ini.
Gagasan
Dasar Epistemologi Platon
Gagasan dasar
epistemologi Platon terletak pada distingsi antara pengetahuan sejati (episteme) dan opini atau pendapat (doxa), antara “ada” dan “menjadi,”
antara “dunia yang sungguh-sungguh nyata (dunia tidak kelihatan)” dengan “dunia
keseharian yang sering berubah-ubah (realitas inderawi).”[7] Hal
ini kemudian digambarkan dengan penggunaan metafor “terang dan gelap” dan
“siang dan malam” untuk menjelaskan kodrat pengetahuan dan perbedaan antara
pengetahuan dengan pendapat, dan bagaimana pengetahuan dan pendapat saling
berpadu. Dalam konteks ini, Platon juga melihat pengetahuan dan opini secara
teknis, terutama dalam hubungannya dengan persepsi.
Platon
berhasil mempersatukan pandangan Heraklitus tentang perubahan dan Parmenides
tentang stabilitas dengan membedakan tingkatan-tingkatan realitas. Dan dia
mengatakan bahwa pengetahuan hanyalah tentang forma, namun pengetahuan ini
diperoleh dari pengetahuan inderawi melalui prinsip imitasi dan partisipasi.
Dengan demikian, secara implisit Platon mengakui pentingnya dunia inderawi
dalam mencapai pengetahuan. Betapa pun demikian, Platon tetap mengakui bahwa
pengetahuan lebih bernilai daripada opini karena pengetahuan lebih berkecimpung
dalam lingkungan inteligibel, dan ini lebih real daripada lingkungan sensibel
yang menjadi objek utama dari opini.[8]
Demikianlah gambaran
gagasan dasar dari epistemologi Platon sebagai pengantar dalam memasuki alam
pikir filsafat Platon.
Alegori
Gua
Dalam metafornya
tentang alegori gua, Platon menggambarkan tentang manusia yang dapat
dibandingkan dengan kehidupan orang-orang tahanan yang sejak lahir terbelenggu
di dalam gua. Mereka dipasung pada kaki dan lehernya, sehingga mukanya tidak
dapat bergerak dan selalu terarah ke dinding gua. Di belakang mereka ada api
yang menyala. Beberapa budak belian mondar-mandir di depan api itu, sambil
memikul berbagai macam benda. Hal itu menimbulkan bayang-bayang yang
dipantulkan pada dinding gua. Oleh karena sejak lahir hidup di dalam gua, mereka
percaya bahwa bayang-bayang yang terpantul pada dinding gua merupakan realitas
yang sesungguhnya. Selang beberapa waktu seorang dari antara para tawanan ini dilepaskan.
Ia naik ke atas gua secara perlahan-lahan dan melihat api yang ada di situ. Ia
mulai memperkirakan bahwa bayang-bayang bukanlah realitas yang sesungguhnya. Lalu
ia dihantar ke luar gua dan melihat matahari yang menyilaukan matanya. Awalnya
ia berpikir bahwa ia sudah meninggalkan realitas. Tetapi, perlahan-lahan ia
menginsafi bahwa itulah realitas yang sesungguhnya yang belum pernah
dilihatnya. Pada akhirnya ia kembali ke dalam gua dan bercerita kepada
teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat hanyalah bayang-bayang belaka.
Namun, mereka tidak memercayai hal itu dan seandainya mereka tidak terbelenggu,
maka mereka pasti akan membunuh tiap orang yang hendak melepaskan mereka dari
dalam gua.[9] Dari
penjelasan yang terkesan seperti sebuah cerita narasi ini, secara implisit Platon
ingin menjelaskan epistemologinya dalam hubungan dengan proses memeroleh
pengetahuan.
Metafor
tersebut dapat dimegerti sebagai berikut. Gua ibarat dunia yang disajikan
kepada pancaindera kita. Orang-orang tahanan diartikan sebagai kita (manusia),
yang menerima pengalaman spontan begitu saja. Tetapi, ada beberapa orang yang
mulai memerkirakan bahwa realitas inderawi tidak lain dari sekedar
bayang-bayang saja, mereka itulah filsuf. Awalnya mereka merasa heran sekali,
tetapi dalam prosesnya mereka menemukan ide “yang Baik” (matahari) sebagai
realitas tertinggi. Hal ini menggambarkan bahwa dalam proses mencapai kebenaran
dibutuhkan suatu pendidikan dan kerja keras serta usaha khusus untuk melepaskan
diri dari pancaindera yang menyesatkan. Sebagaimana dilukiskan dalam alegori
gua, filsuf pun akan sulit dipercayai orang.[10]
Kiasan
Matahari
Semua orang setuju
bahwa matahari memungkinkan benda-benda dapat dilihat oleh mata (dalam arti memiliki daya
visibilitas (sight)), dan berperan penting dalam perkembangan dan
pertumbuhan benda-benda ini (Rep.,
503b). Kita memiliki mata dan ada objek yang dapat dilihat, namun apabila tidak
ada cahaya kita juga tidak dapat melihat apa-apa (507de).[11] Dengan
demikian dapat diartikan bahwa cahaya merupakan syarat mutlak bagi adanya sight. Di samping memungkinkan
benda-benda untuk dapat dilihat, matahari juga memungkinkan perkembangan dan
daya tumbuh serta kesuburan mereka (509b). Matahari adalah awal sekaligus akhir
suatu kehidupan sensibel, yaitu dengan memberikan tenaga untuk hidup dan
mengarahkan segala sesuatu menuju akhir.[12] Bagi
manusia matahari memberi hidup dan membantu manusia memiliki pengetahuan yang
semestinya, karena fakulti penglihatan merupakan salah satu dari banyak elemen
yang sangat penting bagi proses pembentukan pengetahuan intelektual. Tetapi,
hal ini tidak berarti bahwa orang buta tidak memiliki pengetahuan karena tidak
bisa melihat. Pengetahuan di sini harus
dimengerti menurut proses intelektual yang normal.[13]
Metafor ini ingin
menjelaskan hubungan antara dunia kelihatan (inderawi) dan tidak kelihatan
(dunia inteligibel).
Platon
melihat bahwa matahari dalam dunia rupa analog dengan kebaikan dalam dunia
inteligibel (VI, 508e). Sebagaimana matahari menempati tempat tertinggi dalam
dunia rupa, kebaikan dilihat sebagai prinsip tertinggi dalam dunia intelek dan
yang menjadi hal terpenting untuk dipelajari dan diketahui. Daripadanya hal-hal
yang adil dan segala kebajikan lain menjadi berdaya guna dan menguntungkan
(505a). Dengan ini jelas bahwa manusia hanya dapat memperoleh kebijaksanaan
atau keadilan karena kebaikan itu sendiri.[14]
Oleh karena itu,
ide tentang kebaikan merupakan sebab dari adanya pengetahuan dan kebenaran,
sejauh kebenaran itu diketahui (508e). Atas dasar kebaikan tertinggi ini akal
manusia dijadikan inteligen dan akal kita dimampukan untuk menangkap
benda-benda inderawi secara immaterial.[15]
Kiasan
Garis Terbagi
Metafor ini mencoba
menjelaskan proses intelektual yang bermula dari dunia inderawi bergerak ke
atas menuju alam berpikir (dunia inteligibel). Proses tersebut dapat dijelaskan
menggunakan empat fase atau langkah. Keempat fase ini (secara berurutan dari
tingkat paling rendah sampai tingkat paling atas) meliputi eikasia, pistis, dianoia, dan noesis. Berapa luas
ruang atau wilayah setiap fase yang diperlihatkan dalam bagian-bagian garis itu
tidak jelas. Platon hanya mengatakan bahwa garis harus terbagi ke dalam dua
bagian yang tidak sama dan setiap bagian masih harus dibagi lagi ke dalam dua
bagian yang sama luas (VI, 509d).[16]
Penjelasan atas keempat fase tersebut sebagai berikut; eikasia (= “persepsi” atau bayangan), ia menempati bagian garis
yang paling rendah. Ia diperlihatkan dalam garis sebagai bayangan-bayangan yang
merefleksikan dunia sensibel atau dunia inderawi yang tidak berhubungan dengan
kehidupan real dan segala aktivitas
yang ia hasilkan; pistis, disebut sebagai
suatu perasaan pasti dalam mengetahui objek-objek sensibel. Ia berisikan
objek-objek fisis yang memproyeksikan bayangan-bayangan dalam eikasia. Jadi pistis dan eikasia
bersama-sama membentuk doxa (pendapat
atau opini) yang dilihat sebagai
bayangan dari forma atau realitas inteligibel (534a). sehingga terdapat relasi
yang erat antara keduanya; dianoia (intelek),
ia berurusan dengan hal-hal inderawi dan menggunakannya sebagai simbol sesuatu
yang tidak inderawi. Ia juga selalu memulai argumentasinya dari
hipotesis-hipotesi. Sebagai contoh dua tipe dianoia
yang sangat jelas tampak pada aritmatika (ilmu hitung) dan geometri (ilmu
ukur). Ia menggunakan prosedur gerakan
turun dari premis menuju konklusi, dari sinilah terlihat suatu proses berlanjut
gerakan berpikir; noesis, ia
menempati bagian garis paling atas dan dimengerti sebagai pengenalan tentang
segala objek atau kebenaran dari dunia inteligibel. Dengan kata lain, noesis merupakan karya akal seseorang
yang melihat dengan penuh kejelasan dan inteligensia sempurna. Noesis merupakan visi langsung atas
forma. Ia merupakan aktus intuitif dalam memahami (lewat jalan naik) suatu ide
atau kebenaran awal yang secara implisit ada dalam suatu kesimpulan. Dalam
seluruh karya Platon, ia dimengerti sebagai usaha menemukan kodrat yang benar
dari prinsip-prinsip rasional yang secara implisit kita kenal di dalam pikiran.[17]
Jadi sebagai pengingat
kembali, kiasan garis terbagi ini memiliki maksud untuk mengemukakan suatu
perjalanan intelektual. Suatu perjalana yang mencoba menjelaskan proses perkembangan
intelektual yang bermula dari dunia yang dapat dilihat
(dunia visibel/sensibel) (eikasia ) dan kemudian bergerak ke atas menuju ke lingkup berpikir atau yang disebut
juga dunia inteligibel (noesis). Selain daripada
itu kiasan ini juga bertujuan ingin menjelaskan kodrat dari filsafat itu
sendiri sebagai tahap tertinggi dalam proses berpikir manusia.
Kesimpulan
dan Relevansi Epistemologi Platon
Dari uraian
epistemologi Platon yang disajikan dalam bentuk kiasan-kiasan tersebut, kita
dapat mengerti bahwa epistemologi Platon tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
ajarannya tentang etika. Bagi Platon kebenaran atau kebaikan yang merupakan
kiblat dari etika, juga merupakan kiblat dari semua hal yang pernah diajarkannya
(termasuk epistemologi). Lepas dari hal itu, secara garis besar Platon dalam
epistemologinya ingin mengajak kita untuk menyelami hakikat dari pengetahuan
sejati. Pengetahuan sejati bagi Platon merupakan suatu proses perjalanan
intelektual menuju kebenaran. Kebenaran di sini pada dasarnya sudah ada di
dalam diri manusia yang terdapat di dalam dunia inteligibel (pikiran atau dunia
ide). Dunia ide inilah yang menjadikan manusia memiliki pengetahuan yang benar.
Benda-benda inderawi yang tampak oleh indera memeroleh maknanya dari dunia ide.
Oleh karena itu menurut pandangannya, pengetahuan sejati hanya bisa dipahami
dengan intelek, bukan indera. Pikiran seharunya mengambil jarak terhadap dunia sensibel
agar bisa mencapai kebenaran. Sehingga, Platon begitu mengagung-agungkan dunia
ide sebagai realitas yang sesungguhnya. Hal ini bukan berarti Platon menganggap
dunia inderawi tidak berguna, melainkan ia ingin mengatakan bahwa dunia inderawi
itu juga turut berperan dalam proses pembentukan intelektual. Ini sejauh kita
tidak menganggap apa yang tampak sebagai kebenaran begitu saja, melaikan harus
melibatkan prinsip imitasi dan partisipasi. Karena apa yang terlihat belum
tentu itu yang benar.
Bertitik tolak dari
penjelasan tersebut, Platon ingin mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari
kita tidak bisa menilai begitu saja apa yang kelihatan oleh indera sebagai realitas
yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila kita melihat seorang pelajar menyimpan
narkoba di dalam tasnya, belum tentu bahwa ia adalah seorang pelajar yang juga memakai
(pemakai atau pengonsumsi) narkoba atau pengedar narkoba. Bisa jadi ia dijebak
oleh seseorang yang berniat jahat dan ingin menjatuhan reputasinya. Hal yang
sama bila kita melihat seseorang yang bertamu ke rumah kerabat dan memakan
hidangan yang telah disediakan tuan rumah di atas meja. Orang itu memakan hidangan
yang ada, belum tentu karena ia lapar, bisa jadi ia memakan hidangan tersebut
karena alasan lain, seperti sungkan atau sebagai wujud apresiasi terhadap kerja
keras tuan rumah yang telah menyediakan hidangan itu. Contoh lainnya, bila kita
melihat seorang wanita dan mengatakan kepadanya bahwa ia cantik. Hal ini juga
belum tentu bahwa wanita itu benar-benar cantik. Bisa jadi kita mengatakan
cantik lantaran tidak ingin menyakiti hatinya atau karena kita mencintainya, sehingga
ia terlihat cantik di mata kita (ide tentang cantik).
Sebagai himbauan Platon
juga mengajak setiap orang untuk memeroleh pendidikan. Menurut hemat saya,
pendidikan di sini bila dikonkretkan dengan situasi dewasa ini bisa disamakan
dengan pendidikan umum (sekolah) atau pendidikan khusus (tempat
pelatihan-pelatihan). Hal ini dimaksudkan agar setiap orang dapat memeroleh
penge-tahu-an yang memadai tentang
situasi-situasi kehidupan dan bisa bersikap kritis terhadap apa yang dilihatnya.
Sebab sebagaimana saya menyetujui pendapat Platon bahwa apa yang dilihat bisa
jadi menipu dan tidak mencerminkan realitas yang sesungguhnya. Oleh karena itu,
dibutuhkan pendidikan dan kerja keras dalam upaya khusus menghindari penafsiran
yang tidak benar dan menyesatkan terhadap suatu realita.
DAFTAR
PUSTAKA
Beoang, Konrad Kebung, Dr., SVD. Platon Jalan Menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta:
KANISIUS, 2001.
Bertens, K., Dr. Sejarah
Filsafat Yunani. Yogyakarta: KANISIUS, 1989.
Pandor, Pius, CP. Diktat Sejarah Filsafat Yunani. Malang: STFT Widya Sasana, 2012.
Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari
Zaman Kuno hingga Sekarang, penerj. Sigit Jatmiko et al. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR, 2007.
Yuana, Kumara Ari. The Greatest Philosophers 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM – Abad
21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Yogyakarta: ANDI, 2010.
[1] Kumara Ari Yuana, The Greatest Philosophers 100 Tokoh Filsuf
Barat dari Abad 6 SM – Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis, Yogyakarta:
ANDI, 2010, hlm. 126.
[2]
Pembagian di sini bisa diartikan sebagai pembagian ilmu pengetahuan berdasarkan
cabang-cabangnya, sebagai contoh: Ilmu Alam yang meliputi Fisika, Kimia, dan
Biologi. Ilmu sosial, yang meliputi Psikologi, Antropologi, Etnologi, Sejarah,
Ekonomi, dan Sosiologi. Serta Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa, yang
meliputi Geologi dan Astronomi.
[3] Bdk. Dr. Konrad Kebung Beoang,
SVD, Plato Jalan Menuju Pengetahuan yang
Benar, Yogyakarta: KANISIUS, 2001, hlm. 15.
[4] Bdk. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan
Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga Sekarang, penerj. Sigit
Jatmiko et al., Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2007, hlm. 141-142.
[5] Kumara Ari Yuana, Op. Cit., hlm. 35.
[6] Bertrand Russell, Op. Cit., hlm. 141.
[8]
Dr. Konrad Kebung Beoang,
SVD, Op. Cit., hlm. 29.
[9] Bdk. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:
KANISIUS, 1989, hlm. 110-111.
[10] Ibid.
[11] Dr. Konrad Kebung Beoang, SVD, Op. Cit., hlm. 50.
[12] Ibid.
[13]
Ibid.
[14] Ibid., hlm. 52.
[15]
Ibid.
[16] Ibid., hlm. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar